Tampilkan postingan dengan label Quick Count. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Quick Count. Tampilkan semua postingan

Senin

Rhoma Effect Memang Menakutkan

“RHOMA-EFFECT” MEMANG “MENAKUTKAN”


Riforri - Effect (Efek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti dampak, pengaruh atau dalam arti lebih luas lagi adalah kesan yang timbul pada pikiran penonton, pendengar, pembaca, dsb (sesudah mendengar atau melihat sesuatu).

Pasca Pemilu Legislatif 9 April 2014 kata “efek” memenuhi hampir seluruh halaman media, baik media cetak surat kabar maupun media on-line. Rhoma Efek, Jokowi Efek, Prabowo Efek adalah tiga nama yang menjadi primadona tulisan para jurnalis.


Hasil perhitungan cepat (quick count) yang dipaparkan oleh berbagai lembaga survey beberapa jam usai pencoblosan yang menampilkan raihan suara Partai peserta Pemilu secara serentak melahirkan berbagai macam analisa. Gagalnya PDI P, Rontoknya Partai Demokrat, Naiknya perolehan Partai-partai Islam membuat “kegaduhan” politik yang pada akhirnya melahirkan femonena baru yang bernama “efek” tersebut.

PDI P harus “menanggung beban” akibat perolehan suara yang hanya berkisar 18%, jauh dari “mimpi-mimpi” yang dilagukan lembaga survey yang meyakini bahwa PDI P akan meraup minimal 30% suara. Partai-partai Islam dan yang berbasis massa Islam yang oleh lembaga survey di-ultimatum akan redup ternyata justru naik secara cukup signifikan.

Salah satu yang melonjak perolehan suaranya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari perolehan 4,9 % di Pemilu 2009, ternyata di Pemilu 2014 ini mampu meraih hampir 10% suara pemilih Nasional. Dua fenomena tersebut melahirkan “ Jokowi Efek” dan ” Rhoma Efek”. Bahasa yang kini beredar-pun berubah haluan. Jika sebelumnya Jokowi “diberitakan” sebagai magnet Pemilu, sedangkan Rhoma Irama hanyalah “penyedap” Pemilu maka dengan perolehan suara yang sedemikian rupa,Bahasa media berbalik menulis “ RHOMA- EFEK LEBIH HEBAT DARI JOKOWI- EFEK”

Bagi penggemar SONETA, Rhoma Efek sebenarnya bukan hal baru dan hal aneh. Sejak tahun 70-an Rhoma Efek sudah sangat “menakutkan” rezim Penguasa.
Jika tidak takut, untuk apa Orde Baru harus mencekal Rhoma Irama dan SONETA selama 11 tahun sejak tahun 1977 hingga 1988 ?
Jika bukan karena Rhoma-Efek, untuk apa William H Frederick, Sosiolog dari OHIO University, AS membuat tesis tentang Rhoma Irama dan SONETA tahun 1982 ?
Jika bukan karena Rhoma-Efek, buat apa media menjadikan “hijrah”-nya Rhoma Irama ke Golkar tahun 1997 sebagai Berita Utama (padahal banyak tokoh yang juga “lompat pagar”) ?
Jika bukan karena Rhoma-Efek untuk apa MNC Group (RCTI, MNC, Global TV) yang dimiliki oleh HarryTanoe juga “mencekal” Rhoma dan SONETA ?

Bersama SONETA, Rhoma Irama diyakini tidak hanya berhasil membentuk kelompok penggemar tetapi berhasil melahirkan pengikut yang militan. Militansi dibuktikan bukan hanya dengan larisnya kaset dan film saja, berjejalnya puluhan ribu manusia pada tiap pertunjukan SONETA juga memberikan bukti yang nyata.

Pengikut Rhoma dengan sukarela menghadiri setiap panggung terbuka baik tabligh akbar maupun pertunjukan music SONETA. Terbukti selama masa kampanye terbuka Pemilu 2014 kemarin, kampanye terbuka PKB yang paling banyak dihadiri massa adalah kampanye yang menampilkan Rhoma Irama dan SONETA. Puluhan ribu massa memenuhi lapangan yang dijadikan arena kampanye terbuka, jauh melebihi peserta kampanye tokoh-tokoh semacam Mahfud MD, Aburizal Bakrie, dan sebagainya.

Intuisi Muhaimin Iskandar untuk meminang Rhoma dan “menggadang-gadang” janji sebagai Capres sangatlah jeli. PKB bisa dikatakan Partai yang sedang “sekarat”. Perolehan suara sejak ditinggalkan Gus Dur terus menerus anjlok, hingga hanya bersisa 4,9% pada Pemilu 2009. Setelah ditinggalkan (lebih tepatnya meninggalkan) Gus Dur praktis PKB tidak lagi memiliki tokoh yang bisa diandalkan untuk mendulang suara. Cak Imin sadar betul bahwa PKB dilahirkan oleh Gus Dur dengan dukungan massa “akar rumput” dan karenanya harus mampu “merayu” kembali massa akar rumput tersebut.

Dan tokoh yang diyakini dapat “merayu” akar rumput itu tak lain adalah Rhoma Irama. Dimulailah gerilya politik bersama Rhoma Irama menyambangi basis massa NU hingga pelosok-pelosok Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ini persis seperti yang dilakukan Golkar melalui Mba Tutut, Putri sulung Pak Harto, ketika ber-safari bersama Rhoma dan SONETA tahun 1997 mengunjungi kantong-kantong NU (PPP) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tabligh Akbar dan pertunjukan SONETA dijadikan sebagai pemikatnya. Cak Imin berhasil ! PKB meraih hampir 10% suara secara Nasional, jauh dari perkiraan para pengamat yang mematok PKB pada angka 5%.

Rhoma-Efek mengalahkan Jokowi-Efek, begitu bunyi Berita di media.


Elektabilitas Rhoma yang dinilai hanya nol koma sekian persen dibanding popularitasnya yang mencapai 98 % ( 2 % termasuk Pak Habibie yang mengaku tidak mengenal Rhoma Irama) ternyata meleset. Rhoma berhasil menarik simpati para pengikutnya baik yang dari kalangan NU maupun non-NU untuk memilih PKB. Cak Imin dan pejabat teras PKB-pun kerap tersenyum lebar ketika diliput media. Menanggapi banyaknya media yang membahas Rhoma-Efek, Ia berucap ringan, “ itu bukan hanya efek dari saya saja, ada peran Machfud MD, peran Ketua NU, peran Ahmad Dani, dan juga caleg-caleg PKB lainnya”. Rhoma memang tulus berjuang untuk mengangkat pamor PKB yang diyakini-nya sebagai partai ulama.

Namun ketulusan Rhoma mulai “diusik”. Beberapa tokoh PKB mengikuti “gendang” pengamat politik yang “mengkerdilkan” peran Rhoma. Mereka mencoba menggiring opini dan mulai “mengkaburkan” janji pencapresan Rhoma dengan alasan suara yang tidak memungkinkan untuk mengusung capres sendiri. Dalam hal ini memang sudah benar, 10% suara tidak dapat melakukan hal itu. Semua sepakat akan hal ini.

Yang membuat “keresahan” pengikut Rhoma adalah acrobat Politik yang dilakukan oleh “elite” PKB yang seolah-olah melupakan dan tidak mengakui “Rhoma-Efek” sebagai pendulang suara. Mereka mengatakan PKB melonjak karena massa NU telah kembali ke dalam rumah mereka. Mereka tidak pernah berfikir siapa yang membuat massa NU tersebut kembali ke “rumah”. Jika mau jujur, PKB-lah yang meninggalkan NU dengan “mengkhianati” Gus Dur sehingga keluarga besar mengeluarkan “fatwa” bahwa Partai apapun boleh memakai gambar Gus Dur dalam kampanye, kecuali PKB.

Jauh sebelum Pemilu, Muhaimin telah mengatakan bahwa antara Rhoma, Machfud dan JK memiliki kekuatan masing-masing. Rhoma kuat di akar rumput, Machfud kuat dikalangan akademisi dan JK kuat di wilayah Indonesia Timur. Lalu siapakah mayoritas massa NU dan Non-NU yang memilih PKB ? Jawabannya sudah jelas bahwa PKB dimenangkan oleh massa “akar rumput”, bukan oleh akademisi dan bukan pula dari wilayah Timur Indonesia, karena selain diusung PKB, JK merupakan salah satu tokoh Golkar.

Sangat tidak bijak jika elite PKB melakukan akrobat yang menyakiti “para pengikut” Rhoma. Memang kecil kemungkinan untuk menjadikan Rhoma sebagai Capres atau Cawapres, namun meninggalkan Rhoma akan membawa kerugian besar bagi PKB. Jangan pernah sekali-kali membuat pernyataan maupun tindakan untuk “berkhianat” terhadap apa yang telah Rhoma berikan untuk PKB karena Rhoma-Efek sangatlah “menakutkan”.

By Soneta Mania

Kamis

Rhoma Irama Mampu Mendongkrak Elektabilitas Suara PKB

Effect Rhoma Irama Mendongkrak Elektabilitas Suara PKB Secara Signifikan


Riforri - Analisis hasil hitung cepat (quick count) Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Network menyebut sejumlah sosok yang berefek terhadap partai politik dalam Pemilu Legislatif 2014. Salah satunya adalah raja dangdut Rhoma Irama yang dinilai berhasil mendongkrak suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Popularitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi untuk mendongkrak elektabilitas PDI Perjuangan tidak sedahsyat yang dibayangkan.

Efek Rhoma Menaikan suara PKB

Hasil hitung cepat, perolehan suara PDIP pada pemilu legislatif (pileg) 2014 hanya naik 35 persen dibandingkan pileg 2009. Sedangkan Partai Gerindra secara mengejutkan justru bisa meningkatkan perolehan suara hingga 170 persen.

"Ternyata Rhoma Irama lebih berefek daripada Joko Widodo," kata Peneliti Senior LSI Network, Toto Izul Fatah, Rabu 9 April 2014. Menurut Toto, popularitas Jokowi yang juga Gubernur DKI Jakarta itu tidak terlalu signifikan meningkatkan perolehan suara PDI Perjuangan.

"Walaupun Rhoma belum diterima kalangan elite, tapi saat dia turun ke basis sangat diterima kalangan grassroot," kata peneliti LSI, Rully Akbar, di kantornya, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu, 9 April 2014.

"Gebrakan Gerindra spetakuler luar biasa, pemilu lalu hanya dapat 4,4 persen sekarang hampir 12 persen. Sedangkan PDIP tidak ada kejutan yang berarti, Jokowi Effect  juga tidak berasa," kata Direktur Eksekutif Survey & Polling Indonesia (SPIN) Igor Dirgantara dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (10/4).

Dosen Ilmu Politik Universitas Jayabaya ini menuturkan, perolehan suara PDIP sangat kecil dibanding target yang diharapkan dengan adanya pencalonan Jokowi sebagai calon presiden (capres). Hal tersebut menunjukkan bahwa Jokowi Effect tidak mempan dalam pemilu kali ini.

"Jokowi effect tidak terbukti sama sekali, dalam Pemilu kali ini," kata Igor.

Dibanding Jokowi, popularitas Raja Dangdut Rhoma Irama (Rhoma Effect) justru lebih terasa. Hasilnya, PKB yang mengusung Rhoma mendapatkan perolehan suara fantastis dan di luar prediksi.
Sebelumnya, banyak pihak yang memprediksi pencapresan Jokowi sebelum pileg akan meningkatkan perolehan suara partai berlambang banteng moncong putih itu sekitar 25 hingga 30 persen.

"Ternyata, efek Jokowi tidak berpengaruh. Kesimpulannya, pemilih Jokowi belum tentu pilih PDI Perjuangan dan pemilih PDI Perjuangan belum tentu pilih Jokowi," terangnya.

Sementara itu, Rhoma Irama bisa memberikan efek signifikan pada suara PKB sejak dia menjadi salah satu bakal capres partai pimpinan Muhaimin Iskandar itu. PKB berhasil memperoleh suara hampir menyentuh angka 10 persen.

"Efek Rhoma Irama belum bisa diterima kalangan elite, tetapi diterima di kalangan grassroot," kata Toto.

Efek personal kedua, menurut Toto, adalah sosok Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat. Kasus korupsi meruntuhkan elektabilitas partai yang didirikan SBY tersebut. "Kasus Nazaruddin itu mengakibatkan Demokrat tidak mencapai 10 persen suara," tuturnya.

Hasil hitung cepat pileg 2014, PKB meraih 9,4 persen suara nasional. Padahal pada pileg tahun 2009 partai pimpinan Muhaimin Iskandar tersebut hanya mendapatkan 4,9 persen suara nasional. Kenaikan perolehan suara PKB sekitar 91 persen.

"Yang dahsyat kali ini ya Gerindra Effect dan Rhoma Irama Effect," ujar Igor. (/jpnn/viva/tempo)