Debby Veramasari "Saya Ingin Memajukan Tanah Leluhur"
Riforri - Pemilu 2014 mendatang bakal diramaikan oleh sejumlah artis dan selebritis yang ikut bertarung memperebutkan kursi di Senayan. Tercatat ada puluhan artis yang ingin menjadi anggota dewan. Kehadiran artis-artis ini akan memperbesar kemungkinan Senayan makin banyak diisi oleh artis.
Salah satu artis yang ikut bertarung adalah Debby Veramasari atau yang lebih dikenal dengan Debby Rhoma Irama. Mantan penyanyi cilik yang terkenal dengan lagu “Papa Genit” ini bertarung untuk Jabar XI yakni Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut.
Wanita yang ingin berjuang memperkokoh sendi-sendi moral, dan memperbaiki citra Islam dimata dunia ini mencalonkan diri sebagai anggota legislatif DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Untuk mengetahui lebih jauh mengapa dia mencalonkan diri dan apa saja visi dan misinya untuk membangun negara ini, Agus Suryantoro dari Koran Kota mencoba mewawancarainya di sebuah tempat di bilangan Jakarta Timur. Hasil wawancara akan diturunkan dalam bentuk tanya jawab.
Apa perttimbangan anda maju sebagai calon legislatif?
Semenjak Papa menerima komitmen untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden, kami anak anaknya ingin memberikan dukungan. Karena itu, kami berdiskusi dengan keluarga terutama Papa. Apakah kami ini sebagai vote getter atau juru kampanye saja atau langsung menjadi calon legislatif. Diskusi soal itu panjang karena harus melihat sisi baik dan buruknya. Apalagi dua pilihan itu sama baiknya. Setelah melalui berbagai pertimbangan maka pilihan kami adalah sebagai calon legislatif. Kami berpendapat bahwa tugas dan tanggungjawab sebagai anggota DPR itu sangat mulia. Selain itu, keberadaan kami anak anaknya juga untuk memberikan dukungan kepada Papa yang ingin menegakan izzul Islam dalam negara kesatuan republik Indonesia.
Mengapa memilih daerah pemilihan Tasikmalaya dan Kabupaten Garut?
Karena kedua kota tersebut adalah wilayah leluhur keluarga papa. Kakek buyut saya, Raden Natawirdja sekitar tahun 1920 an adalah seorang Demang di wilayah tersebut sebelum menjadi Garut dan Tasik. Sedangkan kakek saya Burdah Anggawirdja salah seorang putra beliau yang turun ke masyarakat menjadi relawan perampas senjata Tentara Belanda sekitar tahun 1940.
Kakek Burdah memenangkan perampasan senjata melawan tentara Belanda yang kemudian membentuk Pasukan Komando Garuda Putih, dan salah satu prajurit beliau adalah Edi Nalapraya. Bapak Edi Nalapraya pula sebagai asisten kakek yang menggendong-gendong Bapak Rhoma bayi berpindah dari satu daerah ke daerah selama masa perjuangan tersebut. Konon, beliau pula yang mengajak masyarakat setempat bersama-sama prajuritnya swadaya menebang pohon, membuka hutan, membelah wilayah yang kemudian menjadi Garut dan Tasikmalaya.
Berarti anda sudah siap terjun ke politik?
Awalnya saya tidak tertarik dengan panggung politik. Politik adalah soal siasat-siasat. Saya tidak bisa seperti itu. Saya ingin berbuat dengan apa adanya. Tapi karena saya ingin menjadi perubahan dari bangsa ini agar lebih bermartbat dan ingin membantu Papa maka saya terjun sebagai caleg.
Sejauh yang sudah saya pelajari, amati, menjadi legislator itu sebetulnya mulia. Menjadi wakil, mediator rakyat, mengakomodir apa yang dibutuhkan masyarakat. Namun, semua kembali pada diri sendiri. Apapun yang kita lakukan untuk bangsa, semulia apapun pekerjaan itu kalau kita melakukannya tanpa hati nurani apakah itu akan jadi mulia?
Saya sangat ingin bisa melakukan sesuatu untuk bangsa ini, saya ingin bisa memajukan tanah leluhur saya, Tasikmalaya.
Kita tidak pernah tahu seperti apa kedepan. Tapi setidaknya bila ada kesempatan kenapa tidak saya manfaatkan peluang yang ada.
Seandainya nanti terpilih apa yang akan menjadi konsentrasi anda?
Saya menyukai dunia anak anak dan wanita. Karena masa depan bangsa ini ditangan mereka. Saat ini kondisinya sangat memrihatinkan. Dunia anak anak kita sudah berubah menjadi ‘westernisasi’. Lihat saja games atau permainan mereka, sebagian besar adalah produk barat dan tokoh tokoh yang disenangi anak anak adalah tokoh barat seperti Batman, Superman dan sebagainya. Kita sangat jarang, bahkan mungkin tidak ada games soal pewayangan atau soal budaya lokal. Ini berbahaya karena mereka tidak lagi mengenal seni budaya bangsanya sendiri.
Kemudian taman bermain untuk anak anak balita di seluruh daerah tidak ada. Padahal ini juga penting bagi mereka. Ada baiknya jika tiap daerah, atau minimal tingkat RW memiliki arena bermain untuk balita tersebut. Tidak perlu yang luas sekali, ukuran 10x10 meter di setiap rukun warga sudah cukup bagi anak anak balita itu untuk bermain. Dalam usia yang tergolong tumbuh kembang itu memang diperlukan perhatian khusus. Sehingga mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang baik.
Anda bilang bahwa anak anak sudah terkontaminasi budaya luar, lantas apa solusinya agar mereka tidak makin jauh?
Apa yang baik kita kembangkan dan apa yang tidak baik kita buang. Dan patokan atau landasan kita sudah ada dalam Pancasila dari sila pertama sampai sila kelima. Jika itu tertanam dengan baik maka rasa nasionalisme dan kebangsaan kita akan tinggi. Dan, kita harus konsekwen untuk melaksanakan apa yang ada dalam Pancasila itu. Saya ambil contoh sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berlaku bagi semua agama yang ada di Indonesia. Jadi kalau bulan Ramadhan, kalau libur Ramadhan bukan hanya sekolah Islam yang libur, tapi yang lain yang non Islam juga libur dan liburnyapun sebulan. Tidak seperti sekarang, masih terkotak kotak. Demikian pula kalau hari Raya Nyepi. Bukan hanya orang Hindu yang melakukan acara Nyepi. Seharusnya jika kita paham dengan ajaran Pancasila maka semua warga yang ada harus menghormati kegiatan Nyepi itu dengan tidak melakukan aktivitas seperti umat Hindu. Ini juga berlaku pada hari Raya Natal dan hari Waisak untuk umat Budha. Jika Indonesia bisa seperti ini negara ini akan harmonis dan kita bisa menjadi teladan bagi bangsa lain.
Bagaimana anda memandang kepemimpinan seorang ayah yang kebetulan adalah orang yang sangat populer?
Papa sebagai pemimpin dalam keluarga mendirikan rumah tangganya dengan konsep Islam, sangat religius. Setiap sendi norma agama yang diajarkan oleh Islam diberlakukan dalam hidupnya tanpa terkecuali. Sejak kecil saya sudah terbiasa hidup berdampingan dengan paman-paman, tante-tante, sepupu dan teman yang beda agama.
Kami bukanlah keluarga rasis, papa saya tidak pernah mengajarkan perbedaan dalam bermasyarkat, tetapi sebagai seorang muslim beliau menegakan dan mengamalkan aqidah Islam.
Bagaimana dengan ibu?
Ibu saya adalah alm Hj, Veronika Agustina Tiboleng. Beliau adalah keturunan Menado, Portugis dan Belanda yang penganut Katholik taat, tetapi mama menjadi mu’alaf pada tahun 1970 ketika akan menikah dengan papa dan wafat sebagai muslim. Selama hidupnya, walaupun bercerai dengan papa alhamdulillah beliau tetap komit dengan Islam, agama yang diyakininya membawa penyejuk dan damai dengan saudaranya yang non muslim.
Temani Anak
Bagi seorang ibu, tidak ada yang membahagiakan selain bisa menemani putra putrinya tumbuh dewasa dengan baik. Ini juga yang dialami oleh Debby Veramasari. Katanya tidak ada yang paling membahagiakan selain bisa menemani putranya Hakim belajar di rumah pada malam hari. Meski masih duduk di kelas IV sebuah sekolah dasar di kawasan Jakarta Selatan, anak laki laki lakinya ini sudah cukup mandiri dalam soal belajar. “Saya merasa bersalah jika tidak bisa menemani dia belajar,” ujar perempuan berbintang Sagitarius ini.
Dia lantas bercerita bahwa Hakim, demikian panggilan putranya itu, akan bertanya jika dirinya sudah berjanji menemani belajar lantas keluar rumah karena ada kegiatan. Karena itu, sesibuk apapun dia akan menyempatkan diri untuk menemani putranya tersebut. Paling tidak, dia ikut memeriksa pekerjaan rumahnya itu, jika dia sedang berhalangan menemaninya belajar. Apalagi, putranya itu adalah anak yang baik dan penurut. “Jadinya tidak tega kalau ninggalin lama-lama,” ujar putri pertama pasangan Rhoma Irama dan Veronica ini.
Meski begitu, karena sesuatu dan lain hal, dia pun terpaksa meninggalkan putra kesayangannya itu untuk belajar sendiri. Terlebih sejak dia memutuskan menjadi caleg aktifitas di luar rumahnya menjadi lebih banyak karena harus turun ke daerah pemilihannya di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut.
Sementara mengenai bagaimana cara mendidik sang anak, sama seperti keluarga besarnya, bahwa tidak perlu ada pembatasan. Yang penting harus disesuaikan dengan usianya. “Papa dan mama saya juga begitu,” tuturnya.
Misalnya, ketika dia kecil, keluarganya sudah memperkenalkan lagu lagu barat, namun tidak semua lagu bisa didengarkan. “Waktu kecil kita diberi lagu lagu. Salah satunya nikka costa, memang lagu anak anak,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa dia justru jarang mendengarkan lagu lagu Papanya. Artinya, hanya lagu lagu yang sesuai dengan usia dirinya yang boleh didengarkan.
Soal genre, terang Debby tidak dibatasi. Boleh pop, funk, soul, rock, jazz atau apapun asalkan sesuai usia tidak masalah.
Demikian pula dengan tontonan atau film, semua dipilih sesuai dengan perkembangan dari usia sang anak, sehingga anak bisa berkembang sesuai dengan perkembangan psikologisnya. Dan, ini yang sekarang jarang dilakukan oleh keluarga keluarga Indonesia. Akibatnya, anak anak melihat film atau mendengarkan lagu lagu apapun yang jelas jelas bertentangan dengan tahapan perkembangan psikologisnya tersebut. Ojay
Biodata
Nama : Debby Veramasari
Tempat, tgl lahir: Jakarta, 18 Desember 1972
Anak: 3 orang
Pendidikan:
-TK Aisyiah Tebet
-SD Muhammadiyah 06
-SD Al Azhar
-SMP Al Azhar
-SMA Zaha
-Univ Hukum Zaha
-Hardhas Fashion Design
Karir
-Marketing Tricipta Grafitama
-Sekdir Produksi Jetcom
-Direktur PT Bustana Azza Anugrah
-Bisnis Administrasi Soneta Grup