Tampilkan postingan dengan label Seleb. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seleb. Tampilkan semua postingan

Sabtu

Lagu Rhoma Memberi Nilai-nilai Positif Bagi Kemanusiaan

Lagu Rhoma Memberi Nilai-nilai Positif Bagi Kemanusiaan 


Rhoma dan Biksu - Lagu Rhoma Memberi Nilai-nilai Positif Bagi Kemanusiaan - Riforri Menuju Indonesia Bermartabat

Riforri - SAMPAIKAN KEPADA BANG HAJI, "Saya menyukai lagu-lagu bang haji. Syair-syair lagu bang haji rhoma memberi nilai-nilai positif bagi kemanusiaan.". Rupanya biksu dari Muara Karang, Jakarta Utara yang hendak pergi ke Bandar Lampung tidak bisa mengungkapkan secara langsung kekaguman terhadap lagu-lagu bang haji Rhoma. Padahal sejak diboarding room sudah terlibat akrab bicara dengan bang Haji. 


Rhoma dan Biksu - Lagu Rhoma Memberi Nilai-nilai Positif Bagi Kemanusiaan - Riforri Menuju Indonesia Bermartabat


Rhoma dan Biksu - Lagu Rhoma Memberi Nilai-nilai Positif Bagi Kemanusiaan - Riforri Menuju Indonesia Bermartabat

Setiba di Bandara Raden Inten II Bandar Lampung usai turun dari mobil yang menjemput dari pesawat ke bandara beliau masih bertanya, "jam berapa soneta tampil". Saya jawab besok minggu 27 oktober. Dia segera menjawab, "saya belum selesai dengan sembahyang-nya. Pengen juga menyaksikan bang haji secara langsung. Ah, ternyata penggemar dan sahabat bang haji dari berbagai kalangan. Fans Rhoma Irama tak hanya umat Islam. (Ramdan)

Kamis

Ridho Ajak Muhaimin Bernyanyi “Darah Muda”


Ridho Ajak Muhaimin Bernyanyi “Darah Muda”


Ridho Ajak Muhaimin Bernyanyi “Darah Muda” | Riforri Menuju Indonesia Bermartabat
Foto-foto by Obin Forsa Bogor



Riforri - Ridho Rhoma menggelar konser bersama sang ayah Raja Dangdut H  Rhoma Irama, Minggu (13/10). Dalam konser yang bertajuk Nada dan Dakwah ini, Ridho dan Rhoma mengajak duet Ketua Umum PKB yang juga Menakertrans Muhaimin Iskandar. Dalam konser tersebut, Ridho, Rhoma dan Muhaimin melantunkan lagu berjudul 'Menunggu' dan 'Darah Muda'.

Kehadiran Ridho, Rhoma dan Muhaimin , disambut hangat masyarakat setempat yang datang dari segala desa dan berkumpul di lapangan Gombong, Ciawi-Bogor, Jawa Barat. Penonton yang hadir dalam kegiatan ini  larut dalam kegembiraan.

Ridho Ajak Muhaimin Bernyanyi “Darah Muda” | Riforri Menuju Indonesia Bermartabat

"Kita ingin menghibur masyarakat yang ada di desa ini. Berkumpul menjadi satu dan juga mensosialisasikan cita-cita saya untuk membangun wilayah bogor, sebagai pengrajin yang tangguh ke depannya. Dan saya sengaja mengajak Papa saya (Rhoma Irama) dan juga pembimbing saya Bapak Muhaimin Iskandar untuk duet bersama. Kedatangan mereka, ternyata lebih meramaikan suasana disini,” jelas Ridho.
Sementara , Cak Min demikian  Muhaimin biasa disapa mengaku sangat gembira, bisa meramaikan konser Nada dan Dakwah yang digelar Ridho tersebut. Yang membuat dirinya terkejut, ternyata kehadirannya diajak untuk menyanyi bersama.
Padahal, lanjut Cak Imin kedatangannya ke Bogor untuk mensupport Ridho yang akan menjadi caleg di Bogor. Namun ternyata dia  mendadak diminta untuk nyanyi bersama, tanpa latihan terlebih dahulu. “Ini membuat saya terkejut. Tapi saya happy,” tutur Muhaimin Iskandar

Berqurban, Rhoma Irama Sembelih Sapi 4 sendiri

Berqurban, Rhoma Irama Sembelih Sendiri 4 Sapi 





Rhoma Irama Sembelih Sendiri 4 Sapi Qurban | Riforri Menuju Indonesia BermartabatRiforri - Pada hari Raya Idul Adha atau hari Raya Kurban , kaum muslimin di seluruh dunia  dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rakaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi mereka yang mampu.

Demikian pula dengan Raja dangdut Rhoma Irama. Sebagai seorang pesohor dia juga menyembelih  hewan kurban. Yang agak berbeda dengan para pesohor lainnya, lelaki yang digadang gadang menjadi capres PKB ini menyembelih hewan kurbannya sendiri. Sejak selesai Sholat Idul Adha hingga Rabu (16/10) sore ini, sudah tercatat empat ekor sapi yang sudah disembelih sendiri.
"Setiap tahun saya selalu memotong sendiri, lebih afdol karena perintahnya seperti itu. Kita kurban, kita yang menyembelih sendiri. Seperti pengabdian," kata Haji Rhoma Irama  di Studio Soneta, Depok, Jawa Barat.
Rhoma mengatakan bahwa memperingati Idul Adha itu esensi utama adalah meneladani pengorbanan yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim dan Ismail, Mereka melakukan pengorbanan penuh dengan keikhlasan dalam keimanan.

Roma menegaskan, jika jutaan jamaah haji sekarang sedang melaksanakan wukuf di Arafah, melontar jumrah di Mina dan thawaf di Ka’bah, maka bagi umat yang berada  di luar Makkah, terutama yang mampu, diwajibkan untuk berkurban. “Berkurban untuk kepentingan agama, bangsa dan negara,"kata Rhoma yang menuangkan soal keikhlasan berkurban lewat sejumlah karya lagunya, seperti lagu ‘Pengorbanan’, ‘Haji’, dan ‘Sedekah’.
Rhoma Irama Sembelih Sendiri 4 Sapi Qurban | Riforri Menuju Indonesia Bermartabat
Selain berkurban, kesempatan itu juga dimanfaatkan Rhoma untuk berkumpul bersama rekan-rekannya di Soneta. Bahkan, acara itu juga menjadi ajang pertemuan keluarga PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia).
Rhoma tidak memungkiri jika selama hari raya Kurban ini dia melakukan penyembelihan hewan kurban di sejumlah tempat seperti di Masjid Al Hikmah, Bumi Serpong Damai (BSD) dan terakhir di Studio Soneta Depok. Akibatnya, dia merasa kurang enak badan. "Bukan sakit parah, cuma kurang fit aja,” ujar ayah Debby ini.

Selasa

Rhoma Tausiyah di Hongkong

Riforri - H Rhoma Irama melakukan Tausiyah di depan ribuan jamaah yang sebagian besar teman teman TKI di Shek Kip Mei Park, Sport Centre, Hongkong, Minggu 29 September 2013

Rhoma Tausiyah di Hongkong | Roforri Menuju Indonesia Bermartabat


Rhoma Tausiyah di Hongkong | Roforri Menuju Indonesia Bermartabat


Rhoma Tausiyah di Hongkong | Roforri Menuju Indonesia Bermartabat


Rhoma Tausiyah di Hongkong | Roforri Menuju Indonesia Bermartabat


Rhoma Tausiyah di Hongkong | Roforri Menuju Indonesia Bermartabat







Jumat

Timnas U-23 ke Final Setelah Mengalahkan Turki

Riforri - Tim Nasional Indonesia U-23 lolos ke final Islamic Solidarity Games (ISG) 2013 setelah dalam pertandingan semi-final berhasil menyingkirkan Turki lewat drama adu penalti 7-6 di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Jumat (27/9/2013) sore berakhir.

Timnas U-23 | Riforri Menuju Indonesia Bermartabat

Kedua kesebelasan mengawali laga dengan berhati-hati dancendrung lamban. Baik Timnas U-23 maupun Turki masih berusaha mencari celah yang dapat dimanfaatkan untuk membongkar pertahanan lawan masing-masing. Turki sempat mendapatkan peluang, namun sundulan Yakup Alkan belum mampu merobek jala gawang Kurnia Meiga.

Pertandingan antara timnas U-23 dan Turki selanjutnya lebih sering terjadi di lini tengah. Namun tidak terlalu banyak peluang yang diperoleh kedua tim untuk sekadar memberikan ancaman maupun membuka keunggulan.

Selepas laga berjalan 20 menit, Indonesia mendapatkan peluang untuk membuka keunggulan. Aksi individu Andik Vermansah diakhiri dengan tendangan yang mengarah ke gawang, tapi dapat ditepis kiper Hayrullah Mert Akuz. Bola muntah disambar Ramdhani Lestaluhu, namun menyamping di sisi gawang.

Setelah bermain imbang tanpa gol di babak pertama, Indonesia berusaha mendobrak pertahanan Turki. Pada menit ke-49, peluang diperoleh Andik. Berawal dari penetrasi Bayu Gatra di sektor kanan pertahanan Turki, winger Persisam Samarinda ini lalu melepaskan umpan yang disambut Andik. Walau berada dalam posisi agak bebas, sayang tandukan Andik melebar dari gawang.

Peluang kembali diperoleh Indonesia beberapa saat kemudian. Setelah menerima umpan terobosan Ramdhani, Bayu Gatra melepaskan tendangan keras. Namun sepakan Bayu mengarah ke kiper Turki yang dengan mudahnya mengamankan bola.

Mendapat tekanan dari timnas U-23, Turki berusaha keluar menyerang. Peluang emas diperoleh Turki setelah wasit menunjuk titik putih pada menit ke-63, menyusul pelanggaran Manahati Lestusen terhadap Melih Rahman Nisanci. Namun Yakup yang dipercaya sebagai eksekutor gagal menjalankan tugasnya dengan baik, karena bola eksekusinya bisa digagalkan Meiga.

Timnas U-23 masih menguasai permainan, serta mencoba membongkar pertahanan Turki dengan umpan-umpan pendek dan terobosan. Hanya saja, penyelesaian akhir yang buruk membuat tuan rumah gagal melesakkan gol. Skor imbang 0-0 bertahan hingga 90 menit, dan laga dilanjutkan dengan perpanjangan waktu.

Di masa perpanjangan waktu, timnas U-23 dan Turki melakukan jual-beli serangan. Kedua tim berusaha memecahkan kebuntuan mereka selama 90 menit, dan ingin menyelesaikan laga tanpa harus melalui adu penalti.

Namun di paruh kedua perpanjangan waktu, timnas U-23 lebih memilih bertahan. Situasi ini dimanfaatkan Turki untuk menggempur pertahanan tuan rumah. Kendati demikian, skor imbang tanpa gol tetap bertahan, dan laga diselesaikan melalui adu penalti.

Di adu penalti ini, empat penendang pertama Indonesia, Syamsir Alam, Diego Michiels, Manahati Lestusen, dan Alfin Tuasalamony sukses menjalankan tugasnya, namun Sunarto yang menjadi penendang terakhir gagal, karena tembakannya mengenai kaki kiper Turki.

Begitu juga dengan Turki. Empat penendang pertama mereka, Erdi Guncan, Ibrahim Hircin, Samet Katanalp, dan Oguzhan Cesmell, sukses menjalankan tugasnya. Sementara Yakup Alkan yang bisa memastikan kemenangan Turki, justru tendangannya melambung, dan adu penalti sudden-death pun diterapkan.

Fandi Eko Utomo, Bayu Gatra , dan Dedi Kusnandar sukses menjalankan tugasnya. Begitu juga dengan Ali Say dan Orkun Dervisler di kubu Turki. Namun penendang terakhir R Degirmenci menemui kegagalan setelah tendangannya mengenai tiang gawang, sehingga Indonesia berhasil merebut tiket ke final. (MI/Goal)

Kamis

Kisruh Pemugaran Makam Ustad Jefri

Pemugaran Makam Ustad Jefri Bikin Kisruh keluarga


Pemugaran Makam Ustad Jefri Bikin Kisruh keluarga | Riforri Menuju Indonesia BermartabatRiforri - Kisruh mertua dan menantu itu berwal dari pemugaran makam yang dilakukan oleh keluarga Uje. Namun rupanya pemugaran itu diakui Pipik tanpa persetujuan dirinya. Pipik mengaku sama sekali tidak tahu tentang pemugaran makam Uje. Begitu Pipik ziarah ke makam almarhum suaminya, dia kaget melihat makam Uje sudah dipugar dan diganti dengan makam baru yang tingginya sekitar 1 m dan terbuat dari marmer hitam. Makam itu tampak mewah, megah dan mencolok dibandingkan makam lain disekitarnya.

Melihat makam baru Uje itu, Pipik mengaku sedih dan kecewa selain tidak diajak berunding soal pemugaran makam Uje, alasan Pipik yang lain adalah ia masih terngiang pesan almarhum suaminya ketika masih hidup. Ketika mereka tengah berziarah ke makam, Uje mengatakan padanya agar jikalau Uje meninggal, ia tak ingin makamnya dibuat bermewah-mewah. Ia menginginkan makamnya dari tanah, ditutup rerumputan hijau dengan nisan seperti makam pada umumnya. 

Pipik juga mengatakan bahwa dia sudah konsultasi kebeberapa ulama yang mengatakan bahwa sebaiknya makam seorang Muslim itu sederhana dan tidak tinggikan atau dikijing (dibangun dengan beton, marmer dan semacamnya) apalagi dibuat mewah karena makam sederhana itulah yang sesuai dengan syariat islam.

Sayangnya, Ibunda Almarhum Uje tak sependapat dengan pipik, menurut Umi Tatu, makam itu adalah hadiah dari salah seorang pengagum Uje seorang pengusaha. Jadi Umi merasa harus menghargai niat baik orang itu dengan hadiah makam mahal tersebut. Ibunda Uje yang kini juga rajin berceramah dari masjid ke masjid itu bahkan mencontohkan makam para wali yang dibuat megah dan mewah, sehingga sebagai ustadz yang terkenal di Indonesia, maka sudah sepantasnyalah Uje punya makam yang istimewa mengingat jamaah yang mengantar kepergian Uje hingga liat lahat mencapai ribuan manusia.

Pipik membenarkan, bahwa kalau ada orang dekat Uje yang ingin merenovasi makam suaminya. Namun, ia tidak pernah tahu kapan makam itu akan direnovasi dan didesain seperti apa. Tampaknya kisruh ini akan terus bergulir, mengingat keduanya sama-sama bersikeras dengan pendapatnya masing-masing. Padahal, sudah ada aturan sendiri tentang pemakaman yang diatur pada Perda No. 3 Tahun 2007. Pasal tersebut berisi tidak bolehnya menambah atau meninggikan makam seseorang.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan coba menengahi dan memberikan saran. Menurutnya, jika keluarga keukeuh ingin mempertahankan makam Uje dengan marmer hitam setinggi pinggang orang dewasa itu, sebaiknya makam Uje dipindahkan saja.

"Saya kira makam tersebut dipindahkan saja oleh keluarga, kalau memang bertentangan dengan regulasi, makam kan bisa di pindahkan," kata KH Amidhan 

Menurutnya, tidak ada perlakuan istimewa di sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU) jika ada regaluasi yang telah mengaturnya. Jika ingin istimewa, baiknya keluarga menyiapkan lahan sendiri. "Kalau menurutnya istimewa sendiri, apa istimewanya, di cari tempat tersendiri saja," tutup Amidhan.

Seperti diketahui, keluarga Uje memutuskan memugar makam dai yang tewas akibat kecelakaan itu. Namun, istri Uje, Pipik merasa tidak tahu dengan pemugaran makam mendiang suaminya itu. Pipik pun kurang setuju dengan keputusan keluarga mengistimewakan makam Uje karena takut mengarah kepada perbuatan musyrik.

Sebuah Catatan Aktual Tentang Rhoma Irama

Rhoma Irama, Sebuah Catatan Aktual


Riforri - Jumat, 23 Desember 2011, Kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya membuat sejarah. Tak seperti lazimnya, Rhoma Irama sang legenda hidup musik Indonesia tampil , bukan untuk pagelaran musik atau berdakwah, tetapi memberikan stadium generale, sebuah istilah akademis yang tidak pernah dikaitkan dengan dangdut. Namun, IAIN Sunan Ampel , Soneta Fans Club Indonesia-Jatim dan PAMMI Jatim mengkaitkan keduanya dan jadilah acara tersebut bertajuk “ Musik sebagai Media Dakwah, Kiprah 41 tahun Soneta dalam Blantika Musik Nasional” digelar di auditorium IAIN Sunan Ampel.

Sebuah Catatan Aktual Tentang Rhoma Irama | Riforri Menuju Indonesia Bermartabat

Intelektualisasi dangdut (baca: masuknya dangdut di dunia akademis dan kajian ilmiah) sesungguhnya telah lama berlangsung, setidaknya dimulai paruh 85 an, seorang profesor sosiologi Universitas Ohio, AS, William Frederick membuat disertasi “Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture”. Selain itu, yang relatif baru, Andrew Weintraub menerbitkan “ Dangdut Stories “ dan yang paling teranyar karya mahasiswa Unair, Sdr. Hardi menuliskan skripsi “ Bentuk, Makna, dan Pengaruh Lagu Dangdut Rhoma Irama terhadap Masyarakat Penggemar di Surabaya “. Pada September 2011, kumpulan mahasiswa jurusan humaniora Universitas Indonesia mengkaji tentang Rhoma Irama bertajuk “musik sebagai kritik sosial”.

Intelektualisasi dangdut di atas mendiskripsikan betapa Rhoma Irama beserta Soneta telah menjadi pusat penelitian dan kajian ilmiah, dimulai sejak pertengahan karirnya hingga saat ini. Kiprah sang raja selama 41 tahun telah membuktikan kesan kuat bagi setiap hati masyarakat Indonesia, khususnya penggemar setianya. Sebagai artis, ulama, pemain dan sutradara film, politisi, penyair, dan industriawan musik, Rhoma terus aktif memproduksi syair, ajakan, nilai dan alunan musik yang menghibur rakyat Indonesia, dan ini semakin melengkapinya sebagai wacana dan fenomena yang terus didiskusikan.

Stadium generale yang diselenggarakan IAIN Sunan Ampel tentang kiprah 41 tahun soneta dalam blantika musik nasional, kian membuktikan bahwa Rhoma telah menyejarah, tidak hanya bagi kalangan penggemar dangdut, tetapi juga bagi generasi muda intelektual. Yang kedua ini sangat menarik. Kesan bahwa mahasiswa/i jauh dari dangdut setidaknya bisa terbantahkan. Antusiasme, gegap gempita, kagum, apresiatif, terharu, riuh rendah dan bahkan pekikan Allahuakbar saat mendengar Rhoma Irama menyampaikan orasi tentang perjalanan karir dan musik soneta merupakan suasana historis yang menjadi bagian catatan hidup sang legenda. Terlebih alunan musik paduan suara yang sangat padu, apik, kompak, nyentrik dan merdu, yang mengiringi acara ini, menjadi hiburan tersendiri. Para fans soneta yang hadir sangat bangga ternyata adik-adik mahasiswa yang manis manis itu mampu mendendangkan lagu-lagu karya Rhoma Irama seperti “ LAA ILLAHA ILLALLAH, STOP, UKHUWAH, AZZA danBERDENDANG”. Rhoma pun tersenyum, terharu dan bangga dengan penampilan paduan suara asuhan Ahmad Khubby Ali, seorang fans soneta surabaya yang juga menjadi pengajar di kampus tersebut dan Surya Aka Syahnagra, ketua SFCI Jatim dan anggota KPID Jawa Timur.

Prof. Nur Syam, sang rektor dan cendekiawan yang giat menulis tentang islam juga menyimpan kenangan dengan lagu Rhoma Irama, dan ini sempat dibawakan ketika ia mengikuti diklatpim di Jakarta. Beliau sangat menyukai lagu-lagu pak haji sejak dulu. Lagu kesukaannya adalah “CANE”. Beliau sampai mengatakan bahwa masyarakat kampus IAIN Sunan Ampel termasuk dangdut mania, dan untuk itu berjanji akan mengundangSoneta Group untuk konser di Kampus IAIN Sunan Ampel tahun depan. Janji sang rektor disambut gembira dan gegap gempita oleh para hadirin, tentu dengan harapan janjinya agar dapat diwujudkan. Rhoma Irama tidak hanya pandai menyanyi, tetapi juga piawai menyampaikan pidato yang terstruktur dihadapan para intelektual muda. Secara kronologis, sistematis dan padat, Rhoma menguraikan sejarah karir dan perjalanan soneta. 


Beberapa hal yang penting untuk diungkap dalam pidato Rhoma Irama 

Pertama, Rhoma berani mendobrak kultur masyarakat Indonesia yang ketika itu seolah maklum kalau musik tidak dapat disatukan dengan agama. Saat itu, group group musik yang ada sangat jarang bahkan tidak ada yang memasukan dalil-dali/simbol-simbol agama (islam) ke dalam musik dan konser pertunjukan. Rhoma Irama-lah yang memulai kalimat assalamua’alaikum di setiap awal konsernya. Selanjutnya Rhoma mengutip dalil Al Quran dan Al hadits sebelum membawakan lagu-lagu dakwahnya. Kesan ini terekam oleh masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun. Belum lagi suara khas, model pakaian Rhoma Irama dan gaya joged personil soneta saat tampil di panggung baikoff air maupun on air di televisi, semuanya melengkapi public image seorang Rhoma Irama. Jika ada perdebatan sejarah politik Indonesia tentang hubungan agama dan negara yang kini tampaknya belum usai diperbincangkan, maka secara mikro, Rhoma telah sukses mengawinkan antara musik dangdut dan agama. Ini bisa dilihat dari sikap beliau yang mendeklarasikan soneta sebagai sound of moeslem pada 13 Oktober 1973. Pada konteks ini, Rhoma sesungguhnya telah mengawali dan memberikan kontribusi besar terhadap eksistensi musik religi yang sekarang juga kerap dibawakan oleh para penyayi berbagai aliran.

Kedua, sepanjang 41 tahun berkarir, Rhoma telah memainkan banyak film dan menciptakan lagu dengan beragam tema yang mewakili perasaan penggemar dan pendengarnya dalam semua sisi kehidupan, dan hal ini sudah banyak ditulis oleh banyak pengamat. Dalam meniti perjalanan karirnya, Rhoma dan Soneta bukan tanpa hambatan. Karena berbeda pandangan dan sering mengkritik pemerintah Orde Baru, Rhoma sempat dicekal di TVRI selama 11 (sebelas tahun), tahun 1977 sd 1988. Rhoma tampil kembali di TVRI pada bulan Mei 1988, membawakan lagu “JUDI”dalam acara Kamera Ria yang meledak di pasaran. Secara pribadi, Rhoma sebagai manusia juga banyak mengalami fitnah. Misalnya saja media selalu mengkaitkan isu poligami. Tetapi Rhoma tidak bergeming sementara para penggemarnya juga tidak terpengaruh. Sementara ada public figur lain yang merosot karirnya hanya karena menikah lagi.

Ketiga, dalam pidato tersebut, Rhoma juga meluruskan pernyataan Alm KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang menyatakan bahwa tidak ada pintu untuk berdakwah di dalam bermusik. Rhoma prinsipnya setuju dengan pernyataan Gus Dur, tetapi Rhoma melihat ada celah dalam pintu tersebut dan ini yang tidak dilihat Gus Dur. Karena yang ada hanya celah, maka tidaklah mudah melakukan dakwah di dalam bermusik. Rhoma juga menyayangkan misalnya jika ada penonton yang mabuk saat menyaksikan konsernya, tetapi Rhoma berbesar hati karena sebagian besar penonton dan pemirsa yang jumlahnya ribuan, ratusan ribu bahkan jutaan orang yang ada di rumah dapat menyaksikan pesan-pesan yang disampaikan secara sadar dan terhibur. Ia mengibaratkan kondisi ini seperti di masjid. Di masjid meskipun ada sholat berjamaah dan pengajian, pencurian sandal masih sering terjadi. Sebuah perumpamaan yang sederhana dan tepat. Meskipun ada mudharatnya, manfaatnya jauh lebih besar.

Keempat, dalam kesempatan menjadi narasumber di Kampus Pittsburgh, Amerika Serikat (AS), Rhoma Irama mendapatkan informasi dari Profesor Andrew Weintraub, seorang peneliti AS yang aktif di musik dangdut, mengatakan bahwa musik dan syair lagu-lagu Rhoma Irama telah dipelajari di kurang lebih 70 kampus di dunia. Rhoma sempat terkejut dan meminta penjelasan Andrew Weintraub. Andrew menjelaskan bahwa dunia membutuhkan syair-syair Rhoma Irama yang isinya bercerita tentang kehidupan umat manusia agar berperilaku baik. Selain itu, instrumen musik yang dibawakan Rhoma dan Soneta juga berbeda dan menjadi inspirasi bagi pemusik dunia. Melihat realitas ini, sungguh ironis, apabila selama ini kampus-kampus dan peneliti-peneliti di Indonesia lambat merespon fenomena Rhoma Irama dan Soneta. Maka, two thumbs up untuk kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya yang mengambil inisiatif mengundang Rhoma Irama menjelaskan ini semua.

Pesan kuat yang dapat dipetik dari acara ini adalah betapa musik dangdut yang dibawakan Rhoma Irama dan Soneta telah menghibur dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia baik secara sadar maupun tidak. Mewarnai kehidupan politik pada eranya, pergaulan sosial secara luas dan bahkan percaturan musik dunia. Rhoma Irama dan Soneta kini ditempatkan secara terhormat di hati masyarakat Indonesia dan penggemarnya, dari berbagai golongan kelas, kaya dan miskin, cendekiawan dan awam bahkan untuk seluruh umat manusia.

Penulis adalah alumni Universitas Islam Jakarta,
FB : Soleh Mohamad ( ahmad_dinan@yahoo.com)

Rabu

Stop Meremehkan Rhoma Irama

Stop Meremehkan Rhoma Irama


Riforri - Rhoma Irama, sebuah nama yang saya kira lebih separuh dari rakyat negeri ini mengenalnya meski belum pernah sekali pun bertemu langsung dan cuma melihatnya melalui berbagai media. Rhoma Irama jelas lebih dulu terkenal daripada nama-nama ini; SBY, Wiranto, Prabowo Subianto, Habibie, Jusuf Kalla, Jokowi, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, serta sederet nama yang mulai terkenal dan sering muncul di berbagai media.

Rhoma Irama

Rhoma Irama sudah mulai dikenal oleh rakyat negeri di pertengahan tahun 1970-an ketika memunculkan sebuah grup musik bernama Soneta, yang namanya diambil dari salah satu jenis puisi dari Italia. Dekade 1980-an dan 1990-an merupakan masa-masa ketenaran dan produktivitas Rhoma Irama dalam bermusik. Sementara itu pada kedua dekade tersebut para tokoh yang nama-namanya saya sebut diatas entah sedang apa dan dimana, yang jelas cuma segelintir orang yang tahu nama dan mengenal mereka. Makanya saya sangat meragukan kejujuran pak Habibie yang pada sebuah tayangan Mata Najwa mengaku tak mengenal Rhoma Irama, terlalu.......

Pada tahun 1973 Rhoma Irama membentuk Soneta Grup yang mana pada tahun itu pula Susilo Bambang Yudhoyono lulus dari Akabri. Pada tahun 1973, Wiranto yang lulus Akademi Militer Nasional (AMN) pada 1968; berpangkat Kapten. Adapun Prabowo Subianto baru lulus dari Akademi Militer di Magelang pada tahun 1974. Kemudian BJ Habibie pada tahun 1973 baru kembali ke Indonesia atas permintaan Soeharto, Presiden masa itu. Pada tahun-tahun ini Jusuf Kalla sibuk mengurusi berbagai bisnisnya melalui NV Hadji Kalla. Lalu Jokowi sedang apa dan dimana ? Ketika Rhoma Irama membentuk Soneta Grup di tahun 1973, Jokowi baru berumur 12 tahunan, berarti ia baru duduk di bangku SLTP. Aburizal Bakrie baru menamatkan kuliahnya di Fakultas Elektro ITB di tahun 1973. Sedangkan Surya Paloh, pria brewokan ini masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Sosial Politik Universitas Islam Sumatera Utara sambil memulai merintis bisnis.

Nah, keterkenalan dan ketenaran Rhoma Irama di kalangan rakyat negeri ini, jelas lebih dulu daripada semua tokoh yang akhir-akhir ini sering muncul namanya di berbagai media. Untungnya di era reformasi ini terdapat banyak media yang bisa digunakan untuk melakukan pencitraan. Padahal di era rejim Orde Baru, dimana media belum begitu banyak dan dibawah kontrol pemerintah pula, Rhoma Irama sempat dilarang tampil di media terutama milik pemerintah, tak membuat ketenaran seorang Rhoma Irama terhalang.

Rhoma Irama itu fenomenal, setidaknya di negeri ini. Julukannya sebagai Raja Dangdut tak pernah tergantikan hingga kini. Terasa sangat aneh jika julukan tersebut disematkan kepada yang lain. Ketenaran Rhoma Irama tak pernah pupus dari benak para penggemarnya. Lagu-lagu ciptaannya sudah seperti semacam lagu wajib bagi para grup musik dangdut. Jangan remehkan seorang Rhoma Irama bila kita tak lebih terkenal dari dia.

(Imi Suryaputera/kompasiana.com/Simplepedia)

Minggu

Raja Dangdut Dalam Sketsa Budaya

Rhoma Irama “Raja Dangdut” dalam Sketsa Budaya Massa (Sebuah Pengantar)


Rhoma Irama Raja Dangdut | Reforri Informasi Inspirasi Edukasi Seni Budaya Konspirasi Kemakmuran PolitikRiforri - Ketika saya berniat menulis tentang perjalanan Rhoma Irama dan Soneta Groupnya, ada sejumlah pertanyaan muncul di benak saya. Apa yang mau saya tulis tentang Rhoma? Mengapa Rhoma penting untuk ditulis? Seberapa penting pengaruhnya dalam merevolusi dangdut? Apa yang membedakan musik dangdut dengan berbagai genre musik lainnya? Benarkah musik dangdut kampungan? Apakah mereka yang menyukai musik dangdut mesti berselera rendah atau kampungan? Sejumlah pertanyaan tersebut tentu akan memunculkan jawaban yang tidak (mungkin) sama. Tergantung dari sudut mana kita akan memandangnya. Yang jelas, sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas, membawa saya untuk melakukan sebuah pencarian…


Alasan saya menulis buku ini lebih karena sisi dukungan ilmiah pada musik dangdut sangatlah minim. Entah mengapa para peneliti enggan mengkaji jenis musik yang satu ini. Sejak pertama muncul dan dikenal lewat pemunculan Ellya Khadam, bintang pada era 60-an, dengan hitnya ”Boneka dari India”, baru ada beberapa kajian akademis tentang dangdut, di antaranya dari disiplin sejarah (Frederick 1982; Lockard 1998), musik (Hatch 1985; Yampolsky 1991; Wallach 2008), antropologi (Simatupang 1996; David 2009), dan kajian Asia (Pioquinto 1995 dan 1998; Sen dan Hill 2000; Browne 2000).


Berbeda dari semua kajian tersebut, Dangdut Stories yang ditulis oleh Andrew N. Weintraub, merupakan kajian musikologis pertama yang menganalisis perkembangan stilistika musik dangdut. Dengan memanfaatkan gaya vokal, melodi, irama, harmoni, bentuk, dan teks lagu, seperti diyakini penulisnya, dangdut bisa mengartikulasikan pergulatan simbolis atas makna dalam realitas kebudayaan Indonesia.[nbnote]Idi Subandy Ibrahim, Kisah Indonesia Lewat “Goyang Dangdut” Kompas, 30 Januari 2011[/nbnote] Saya belum membacanya secara tuntas. Namun upaya serius penulisnya layak mendapat apresiasi yang besar, terlebih penulisnya bukanlah asli orang Indonesia, tetapi dari Amerika.

Itulah dangdut. Sebuah dunianya yang begitu semarak, tapi sepi dari perhatian publik ilmiah. Fachry Ali, seorang peneliti sosial, pernah mengkajinya dengan serius. Beberapa tulisannya mengenai dangdut sangat memikat. Namun, sayangnya hal itu sekarang tidak dilanjutkan. Endo Suanda atau Lono Simatupang, melalui penelitiannya mengenai musik Melayu atau Dangdut, mampu menghadirkan sosok musik ini secara lebih utuh. Dalam penelitiannya, Endo mengatakan bahwa lagu dangdut juga dapat berperan sebagai corong untuk mengungkapkan perasaan rakyat atas kesewenangan yang terjadi dalam masyarakat. Banyak contoh protes sosial dalam lagu dangdut, sebagaimana saya akan menjelaskannya pada pengantar ini.


Rhoma Irama Raja Dangdut | Reforri Informasi Inspirasi Edukasi Seni Budaya Konspirasi Kemakmuran PolitikBaiklah, mari kita lihat lebih jauh lagi. Jika dilihat dari sudut profesi sebagai seorang seniman atau musisi, Madonna maupun Michael Jackson, sebagai penyanyi, sebenarnya tak jauh berbeda dengan Rhoma Irama. Mereka mampu menyentuh emosi ribuan bahkan jutaan massa yang haus akan tontonan penggemarnya. Daya tarik pesona Rhoma, membuat penggemarnya rela berdesak-desakan, berjoget ria, sambil mengeluh-eluhkan Sang Idola. “Rhoma.. Rhoma… Rhoma…”, begitu, kata penggemarnya. Tak jarang show Rhoma dan Sonetanya memakan korban hingga tewas, karena terlindas yang lain. Dalam pentas-pentas Rhoma dan Sonetanya, ada kegairahan dan kegembiraan yang luar biasa hingga mencapai “keadaan di luar kesadaran diri”, seolah tersihir dalam suatu kondisi psikologis yang telanjang.

Kegairahan dan ketakjuban akan kebahagiaan di luar batas, dan kerinduan untuk terus hidup dalam gaya memang merupakan ciri dari modernitas. Rhoma dengan Sonetanya adalah bagian dari tontonan sekaligus tuntunan dari para penggemarnya. Rhoma tak sekadar menawarkan musik sebagai sekadar struktur bunyi-bunyian atau iringan tari-tarian, yang hanya mementingkan sisi permukaan, penampakan, penampilan, hiburan, dan permainan tanda-tanda yang tanpa kedalaman.

Rhoma memasukkan unsur agama dalam musiknya dengan tujuan melakukan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar ketika mengamati perilaku subkultur kelas bawah dan kelas menengah yang haus seks, minum-minuman keras dan berbagai perilaku amoral lainnya. Dengan dan melalui musik, Rhoma tak canggung menjadikan Soneta sebagai senjata untuk melakukan kritik sosial, nasehat yang sarat dengan seruan moral agama. Keberanian serta ijtihad Rhoma yang sering berujung adanya tuduhan “mengkomersialkan agama” tak menyurutkan langkahnya, justru Ia semakin menguatkan eksistensinya sebagai seorang musisi dengan julukan “Sang Raja Dangdut”.

Di tengah ”semesta simbolisme modernitas” sebuah masyarakat di mana gaya hidup begitu dikultuskan dan dipuja, manusia sebagai pelaku kesadaran, mulai “kehilangan rumah secara metafisik.” Karena “rumah-rumah” itu telah direnggutkan dari sesuatu yang asali yakni kepekaan akan moralitas yang tertanam dalam ruang batin manusia modern. Budaya tradisional dihancurkan. Tak terkecuali di sini agama.

Rhoma tampaknya sadar, bahwa era modernitas dengan segala pengaruhnya lambat laun menggeser peran agama sebagai sumber moral dan digantikan dengan nilai-nilai baru seperti komputer, media cetak, televisi, yang berpotensi besar memalingkan manusia dari Tuhannya, Sang Pencipta. Keprihatinan Rhoma dapat ditemui dalam syair lagunya, “Qur’an dan Koran”:

Sejalan dengan roda pembangunan
Manusia makin penuh kesibukan
Sehingga yang wajib pun terabaikan
Sujud lima waktu menyembah Tuhan
Karena dimabuk oleh kemajuan
Sampai komputer dijadikan Tuhan

Petuah moral Rhoma melalui lagu-lagunya terus bermunculan. Dalam lagu “Modern”, misalnya, menggambarkan bahwa menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji. Simbol-simbol kemodernan yang serba wah dan gemerlap setiap saat menjejal bawah sadar masyarakat. Mereka merayakan kemodernan dengan kehidupan yang serba bebas, serba boleh, kumpul kebo, seks bebas, aborsi. Berikut petuah Rhoma melalui lagu “Modern”:

Modernisasi yang kini melanda dunia Menjadi masalah Ternyata masih banyak yang salah menafsirkannya Di dalam berkiprah Modern dicerna sebagai kebebasan Bebas lepas tanpa adanya batasan Berkemajuan dan juga berpendidikan di dalam segala bidang, ini modern Kemanusiaan, tinggi nilai peradaban Di segala pergaulan, ini modern

Lantas, apalagi hal yang paling telanjang dari yang Telanjang, yang paling real dari yang Real, dan yang paling absurd dari yang Absurd, kalau bukan gaya hidup yang tengah dipertontonkan oleh berbagai kekuatan dan subkultur dalam masyarakat? Inilah yang menjadi keprihatinan Rhoma. Nalurinya sebagai seorang musisi membuatnya peka terhadap fenomena ketidakadilan. Melalui lagu “Indonesia”, Rhoma melakukan perlawanan dan berharap mampu menembus dinding tebal telinga para koruptor yang seolah tak mampu mendengar jeritan derita rakyat jelata.

Negara bukan milik golongan
Dan juga bukan milik perorangan
Dari itu jangan seenaknya
Memperkaya diri membabi buta
Seluruh harta kekayaan Negara
Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya
Namun hatiku selalu bertanya-tanya
Mengapa kehidupan tidak merata
Yang kaya makin kaya
Yang miskin makin miskin…

Musik dangdut dan figur sentralnya Rhoma Irama secara detail menerobos jauh ke berbagai kontroversi yang mencuat ke permukaan. Musik dangdut di tangan Rhoma menjelma sebagai oposisi menyuarakan kegelisahan masyarakat bawah membuat pemerintah kebakaran jenggot. Tak heran jika, seorang William H. Frederick menulis tentang sosok Rhoma dan musik dangdutnya. Ia melihat realitas sukses “superstar” Rhoma yang fenomenal sebagai keberhasilan seorang pemusik memadukan bakat, lingkungan, dan terutama intuisi musiknya. Hal ini telah memperkuat citra Rhoma di mata publik. Rhoma bagi sebagian besar masyarakat bawah adalah sosok musisi hebat dan karenanya masyarakat menjadikannya sebagai medium dakwah dan saluran kritik sosial. Lewat alunan lirik-liriknya, “musik rock Islam pertama di dunia” ini selain bisa menarik orang untuk bergoyang, juga mendidik sensibilitas kerakyatan elite, dan sekaligus menghibur rakyat. Di bawah payung modernitas, “kehilangan rumah secara metafisik” bukan berarti membuat Rhoma lalu berputus asa. Rhoma terus menyerukan amar ma’ruf nahi munkar melalui syair-syair lagunya.

Dalam kehilangan rumah itu, Rhoma seakan mengingatkan kita kepada Michel Foucault, yang mengajak kita untuk tetap optimis: “Jangan membuang moralitas, lebih baik Anda menguasainya, tetapi semata-semata sebagai salah satu kaidah, sebagai salah satu dari konvensi-konvensi yang sepenuhnya menantang, tetapi meskipun begitu ia tetap diperlukan agar permainan bisa berlangsung”. Dengan cara ini, Rhoma telah menghadirkan genre musik dangdut yang khas.

Sebagai identitas sosio-kultural, dangdut, secara sosiologis telah bergerak secara lintas sektor, lintas etnik, lintas agama dan bahkan lintas partai. Maka, dengan perkembangannya yang semacam itu, dangdut dapat dipandang sebagai salah satu indikator modernitas yang dicapai bangsa ini. Terutama saat kita menyadari sepenuhnya kompleksitas modernisasi. Dangdut, setidaknya, memenuhi sejumlah prasyarat terjadinya modernitas di dalam suatu masyarakat yang plural. Terutama bila modernisasi hendak diasumsikan sebagai cara mengusahakan kemampuan menerjemahkan perubahan dan sistem secara berkelanjutan. Interaksinya dengan perkembangan politik dan ekonomi, tak memengaruhi banyak harmonitas produk budaya tradisional dengan teknologi modern. Bahkan, dangdut, kemudian memberi warna terhadap kehidupan bangsa.

Hingga kini tak pernah ada “kudeta” dangdut yang menerjang Rhoma sebagai Raja-nya. Tak pernah pula saingan yang serius mengancam untuk merebut posisinya. Ia seperti hendak membuktikan bahwa seorang raja bisa bertahan seumur hidup. Sudah lebih 40 tahun ia menjadi “raja” Dangdut. Fenomena Rhoma adalah suatu yang sangat menarik ditelusuri. Ia tak sekadar pimpinan sebuah perkumpulan musik sekaliber Soneta, tetapi telah memunculkan cita rasa yang khas dan unik hingga paling banyak diterima siapa saja. Di kalangan umat, Rhoma bahkan tampil sebagai dai yang brilian meski kadang kontroversial

Mengenal Dangdut Rhoma

Saya mengenal nama Rhoma Irama sejak di bangku Sekolah Dasar (SD). Persisnya kapan, saya lupa, tapi kira-kira kelas empat. Di rumah saya, banyak koleksi kaset dangdut, mulai dari A. Kadir, A. Rafiq, Ida Laila, Elvy Sukaesih, tak ketinggalan pula Rhoma Irama. Sebagian besar koleksi kaset Bapak saya, memang Rhoma Irama. Berbagai macam penyanyi dangdut hidup di rumah saya. Seingat saya, lagu Rhoma yang pertama kali saya dengar adalah “Yatim Piatu”. Saya seperti terhipnotis oleh suaranya. Tak perlu berpikir lagi, lagu itu mudah sampai di hati semua orang, walaupun saat itu saya belum paham liriknya. Saya nyanyikan lagu itu, baik di sekolah, maupun pada saat bermain bersama teman-teman. Bahkan, jika ada salah satu teman yang sudah lama ditinggal mati oleh Bapak-Ibunya, lagu ini saya nyanyikan, bukan untuk menghibur, tapi ngeledek.

Saya mengapresiasi sendiri semua yang saya dengar. Setelah itu, mudah di tebak, saya semakin mengikuti terus perjalanan karya-karya Rhoma, termasuk film-filmnya yang terus saya tonton. Salah satu momen paling mengasyikkan adalah ketika saya menyaksikan film di layar tancap, “Badai Diawal Bahagia”, “Menggapai Matahari” atau “Kemilau Cinta di Langit Jingga”. Masyarakat datang dari sejumlah desa demi menonton film Rhoma Irama. Salah satu yang wajib di jelaskan di sini ketika berbicara tentang Rhoma adalah kualitas vokalnya. Gaya vokal Rhoma, menurut saya sangatlah istimewa. Hampir tidak saya temukan di film-film Indonesia, aktor utamanya bersuara khas seperti Rhoma. Ya, saya menyebut suara bertipikal Rhoma. Dia memiliki suara yang berat bervibrasi, karakter yang khas dan memiliki aspek khusus. Sejak kecil, saya sudah familiar dengan suara Rhoma. Saya pun sering menirukan suaranya yang khas itu. Di mana-mana suaranya jadi pujaan, di mana-mana cintanya selalu dikejar. Itulah Rhoma…

Rhoma Irama Raja Dangdut | Reforri Informasi Inspirasi Edukasi Seni Budaya Konspirasi Kemakmuran Politik
Dalam sebuah filmnya, “Gitar Tua”, Rhoma dengan suara khasnya, “Jadi… merana dia…, gila dia…, tersiksa dia…, nah, sekarang kamu harus membawakan lagu ini, sesuai dengan perasaan-perasaan seperti itu… !” Komedian di televisi suka menyaru suaranya, dan dijadikan lelucon. Saya pernah menjumpai penyanyi pria dengan suara bertipikal suara Rhoma. Tak peduli tampang mereka, yang pasti mereka punya kesamaan: suara mereka harus seperti suara berjenis kelamin Rhoma Irama. Mengeluarkan suara komersialnya seperti suara Rhoma merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Terlalu…. !

Rhoma tak tergantikan. Ia makhluk langka yang dilahirkan ke dunia membawa perubahan besar di bidang musik. Rhoma Revolusioner besar di bidang musik. Tidak ada yang dapat menyamai Rhoma! Bahkan, anaknya sekali pun, Ridho maupun Vicky juga tidak! Rhoma itu manusia langka dan hebat. Yang paling sederhana, bayangkan betapa hebatnya ia mengantarkan kenangan personal melalui lagu-lagunya.

Rhoma, sosok yang pantas menyandang gelar “Raja Dangdut”. 

Karya-karyanya, seperti oase, membangun spirit dan mampu mengubah hidup seseorang. Seperti dalam lagu “Lagu Buat Kawan” :

Jangan suka mencela
Apalagi menghina, wahai kawan
Kesalahan berbicara bisa membawa celaka
Jangan menyebar fitnah
Di antara sesama, wahai kawan Jujurlah dalam bicara, janganlah suka berdusta
Berdosa… (o ya, ya) Berdosa…
Bersihkanlah hati jangan saling membenci
Atau berprasangka yang tak pasti
Saling menghormati itu lebih terpuji
Tanamkanlah rasa cinta-kasih
Perangilah rasa iri dan serakah
Yang menimbulkan kehancuran semata
Milikilah budi-pekerti mulia
Capailah damai sejahtera…

Rhoma, memang sungguh luar biasa. Ia ibarat raja atau “dewa” dari dunia lain. Apalagi kalau sudah tampil di panggung dengan jubah kebesarannya, dengan tekanan kata yang khas. Saya beberapa kali menyaksikan secara langsung konser maupun ceramah Rhoma, misalnya di Surabaya, Gresik, maupun di Malang. Di televisi tak terbilang lagilah. Tapi saya baru satu kali bertemu Rhoma secara langsung, di rumahnya, Mampang, Jakarta Timur. Itu pun tak berlangsung lama, karena ia harus pergi mengisi sebuah acara di Matraman, Jakarta Pusat. Sebagai seorang penggemar dangdut Rhoma, saya pun senang, meskipun belum sempat bincang-bincang.

Rhoma Irama Raja Dangdut | Reforri Informasi Inspirasi Edukasi Seni Budaya Konspirasi Kemakmuran PolitikSepanjang sejarah Indonesia, menurut saya, belum pernah ada musik yang membius begitu banyak orang Indonesia, kecuali dangdut. Album Rhoma, pertama yang bikin geger persada musik Indonesia tentulah begadang. Diterbitkan Yukawi pada 1974, album ini menampilkan lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Musik Melayu di tangan Rhoma—yang lebih popular dengan istilah dangdut—lebih dinamis, modern, dengan sentuhan rock rasa Deep Purple. Rhoma sukses melakukan revolusi musik Melayu yang tadinya biasa-biasa saja dan tak bertenaga.

Di film-film yang dibintanginya, Rhoma menjadi sosok yang sempurna. Jika Anda bertanya kepada saya tentang apa saja film yang dibintangi Rhoma, maka saya langsung dengan cepat menyebut sejumlah film. Mulai dari Penasaran, Gitar Tua, Berkelana, Darah Muda, Satria Bergitar, Pengorbanan, Jaka Swara, Menggapai Matahari, Nada-Nada Rindu, hingga Tabir Biru. Saya juga ingat apa kisahnya dan dengan siapa Rhoma berpasangan. Begitu pun dengan lagu-lagunya.

Awal masa kuliah, di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), saat pembukaan Ospek di Fakultas Agama Islam, tahun 1995, saya melakukan pelanggaran, entah pelanggaran apa, saya tak begitu mengingatnya. Saya dihukum oleh kakak panitia Ospek, namanya Jaiz Kumkelo—sekarang dosen di UIN Malang. Dengan wajah cengar-cengir saya menunggu hukuman apa yang mau diberikan kepada saya. “Kamu bisa menyanyi?” tanya Kak Jaiz. “Bisa, tapi lagu dangdut Rhoma Irama,” jawab saya. “Boleh, sekarang kamu nyanyikan,” katanya. Saya pun dengan spontan menyanyikan lagu “Kehilangan” karya Rhoma. Kak Jaiz dan kakak panitia lainnya, mendengarkan saya menyanyi, sambil senyum-senyum. Liriknya begini:

Kalau sudah tiada baru terasa
Bahwa kehadirannya sungguh berharga
Sungguh berat aku rasa
Kehilangan dia
Sungguh berat aku rasa
Hidup tanpa dia
Kutahu rumus dunia
Semua harus berpisah
Tetapi kumohon
Kuatkan, kuatkanlah
Bukan aku menyesali
Apa yang harus terjadi
Tetapi kumohon
Tangguhkan, tangguhkanlah

Terus terang, saya memang penggemar Rhoma. Mohon maaf atas pengakuan ini. Mungkin Anda menganggap saya kampungan, norak, berselera rendah, atau apapunlah namanya. Terserah saja. Sudah lama saya memendam pengakuan ini. Bagi saya, Rhoma adalah kepingan-kepingan kecil dari episode masa silam saya yang tinggal di kampung. Rhoma adalah raja, dan kamilah rakyatnya. Mereka yang sinis dan mengatakan dangdut musik kampungan, Rhoma dengan hati dingin menanggapi para pembenci dangdut hanyalah “bagi pemusik—termasuk penikmat musik—yang anti melayu / boleh benci jangan mengganggu / biarkan kami mendendangkan lagu / lagu kami lagu melayu…..

Hampir semua film-filmnya, tak ada satu pun yang terlewat. Semua sudah pernah saya tonton. Saya tak peduli, film itu bermutu atau tidak, saat itu kalau ada film Rhoma, saya pasti menontonnya, entah di layar tancap yang diputar di lapangan desa, maupun yang dijual. Belakangan, saya menyaksikan film yang dibintangi Rhoma bersama anaknya, Ridho Rhoma, Chaty saron dan Delon. Di film itu, ia tidak lagi menjadi satria bergitar. Ia hanya membimbing Ridho putranya. Dan sepanjang film, saya tersenyum membayangkan masa silam, masa yang penuh lagu-lagu Rhoma. Rhoma adalah magnet yang menarik kami dan semua warga lain untuk merapat dan mendengarkannya dengan penuh penghayatan.

Saat ini, jika saya menyaksikan poster film Rhoma, saya sering senyum-senyum sendiri. Bukan tersenyum melihat suasana jadul. Tapi saya senyum membayangkan banyaknya kejadian masa silam yang masih membekas di masa kini. Mendengar lagu Rhoma, ibarat memutar waktu dan menyaksikan diri sendiri di masa silam, sekaligus jalan untuk merefleksi diri di masa kini. Rhoma memang artis yang saya gandrungi. Lagu-lagunya yang syahdu, romantik, dan menggetarkan. Tapi saat dewasa, saya mulai benci karena saat menyebut diri penggemar Rhoma, maka saat itu juga dicap kampungan.

Saat kuliah di Malang, ada teman yang sering memproklamirkan diri sebagai penggemar The Beatles. Mungkin dia melakukannya karena ingin dianggap memiliki cita rasa tinggi karena menyukai band-band berkualitas. Sementara, tak bisa saya pungkiri bahwa musik yang mengalir di tubuh saya, adalah musik dangdut Rhoma. Ia mengalir sebagai darah daging di situ. Saya yakin, saya tidak sendirian. Jangan-jangan, anda juga suka Rhoma tapi malu-malu mengakuinya.

Kita jarang jujur dengan diri sendiri sehingga mengabaikan diri kita yang sesungguhnya. Kita tidak sedang menjadi diri kita sendiri. Kita menjadi apa yang dicitrakan oleh media sebagai lapis atas. Kita merekayasa segala yang ada pada diri kita demi sebuah kata berkelas, keren, atau kata papan atas. Namun, untuk apakah semua pencitraan itu? Emangnya kenapa kalau saya ndeso? Memang itu faktanya kok. Jika ndeso yang dimaksudkan adalah sebuah geografi yang terletak di udik sana tempat kita berasal, maka saya memang seorang ndeso. Terus, apa pentingnya mempersoalkan ndeso dan tidaknya seseorang?

Justru kosa kata ndeso atau kampungan adalah gambaran tentang subkultur dari mana kita berasal. Kita berangkat dari satuan teritori yang masih memelihara kekerabatan, jaringan sosial, dan masih menganggap diri satu tubuh dengan masyarakat sekitar. Kampungan adalah konsep di mana seluruh warga yang berdiam di satu tempat memiliki solidaritas yang tinggi serta saling memiliki. Kampungan adalah konsep masyarakat yang sehat di mana masing-masing saling mngenal serta mengidentifikasi diri sebagai satu kesatuan. Hajatan pada satu keluarga adalah hajatan seluruh warga.

Anda tak menemukan konsep saling mengenal dan saling membantu seperti ini pada masyarakat kota yang [sok] modern. Simak lagu Rhoma ini:

Setahun sekali belum tentu
Dengan tetangga bisa bertemu
Di Ibu Kota 3x
Pagar rumahnya pun tinggi-tinggi
Hidupnya pun sudah nafsi-nafsi
Di Ibu Kota 3x
Berbagai macam kesibukan
Meliputi warganya
Hingga sedikit kesempatan
Untuk berbagi rasa…
Menipis sudah tali jiwa
Yang mengikat warganya
Berkurang sudah tenggang rasa
Di antara sesama
Rasa perseorangan
Sikap warga ibu kota
Rasa kebersamaan
Sudah memprihatinkan
Hidup selalu terburu-buru
Seakan-akan dikejar waktu
Di ibu kota 3x

Jangan malu disebut kampungan. Jangan pula malu menyebut diri sebagai penggemar Rhoma. Setidaknya kita sedang berdamai dengan diri kita sendiri. Lagu-lagu Rhoma mewakili semua suasana: ada nuansa agama, cinta remaja, cinta kepada orang tua, kepada bangsa, kritik sosial, dan lain-lain. Sebagai sebuah musik hiburan, dangdut mampu menjadi penghibur dalam kesedihan dan kesusahan. Apakah itu persoalan percintaan, kegelisahan, kesedihan, atau masalah kehidupan lainnya yang dialami manusia.

Karena itu, mengatakan dangdut sebagai musik kampungan, menurut saya hal ini agak aneh kedengarannya, dan rumit menjelaskannya. Bukankah ketika kita berbicara mengenai musik, kita bukan sekadar berbicara mengenai alunan musiknya ataupun liriknya, tetapi lebih dari sekadar itu adalah selera individu. Nah, ketika membicarakan selera, tentu saja bersifat universal dan relatif. Dengan kata lain, selama tujuan mendengarkan musik itu tercapai, lalu apa dasarnya menjustifikasi bahwa jenis musik dangdut itu kampungan? Sekarang, Anda berhak menilai, apakah musik dangdut itu kampungan atau tidak? Saya sendiri ketika mendengar lagu Rhoma, seolah mampu meringankan kesedihan itu dan membangkitkan nilai semangat yang positif. Seperti itulah yang saya alami, dan mungkin juga dialami oleh banyak orang.

Menurut saya, penggemar dangdut tidak usah malu-malu lagi, karena kini orang bule pun tergila-gila dengan dangdut. Dangdut menjadi fenomena di Mancanegara, terutama Amerika dan Jepang. Andrew N. Weintraub, seorang Professor of Music dari University of Pittsburgh, America, di samping menulis buku Dangdut Stories, juga seorang Pendiri sekaligus Pimpinan Group Band Cowboys Dangdut. Kalau Anda melihat video live musik ”Dangdut Cowboys”, band dengan musik berirama dangdut—meskipun dengan menggunakan instrumen yang sangat terbatas—saya menilai mereka mampu menghadirkan ”cita rasa dangdut” yang khas kepada penonton. Lihatlah ketika mereka membawakan lagu-lagu Rhoma, misalnya Kegagalan Cinta atau Terajana.

Pergerakan musik dangdut yang begitu dahsyat memang tak mudah untuk dilawan. Dangdut tidak lagi menjadi ikon musik kaum pinggiran melainkan ikon musik populer yang digemari oleh seluruh kalangan. (Bungin, 2005: 97) Seni musik, tak terkecuali dangdut, merupakan jiwa dari manusia karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasa keindahan. Oleh sebab itu manusia selalu ingin tahu tentang seni dan selalu ingin menikmatinya. Seni musik bisa mengubah identitas manusia dan membuat perubahan-perubahan yang sangat besar dalam suatu peradaban manusia. Suatu kesenian merupakan bagian dari kebudayaan oleh karena itu manusia yang berkesenian tentu saja manusia yang berbudaya. Coba kita simak bagaimana Rhoma berpesan melalui lagu Seni:

Seni adalah bahasa
Pemersatu antarbangsa
Seni indah dan mulia
Suci murni tiada dosa
Hayo gunakan seni ‘tuk kebaikan
Hayo gunakan seni ‘tuk keindahan
Hayo gunakan seni untuk agama
Hayo gunakan seni untuk negara
Mari bernyanyi dan bergembiralah
Tapi tetap dalam kesopanan dan iman

“Seni memang bagai sebersit kabut yang bisa ditata menjadi suatu gambaran,” begitu kata Khalil Gibran. Seni itu indah, putih, bersih, dan takkan berubah warna tak dinodai oleh manusia. Untuk itu kita harus menjaganya, karena—seperti dikatakan Aristoteles—seni musik mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Musik adalah karya seni yang baik dan tinggi nilai estetikanya, karena syairnya dapat berisi pesan, perintah dan isyarat tertentu. Seni musik adalah bahasa ekspresi manusia yang masih harus diterjemahkan, emosi saja tidak cukup untuk menerangkan musik; oleh sebab itu diperlukan kaidah-kaidah logis untuk mendasari kesenian. Musik dikatakan indah bila memiliki bentuk saling mempengaruhi nan harmonis antara imajinasi dan pengertian. Seni yang indah—menurut Wagner—adalah seni dari seorang jenius.

Dan, Rhoma adalah salah satu musisi dunia yang jenius itu. Sepak terjangnya di dunia musik sudah mencatat banyak sejarah. Rhoma adalah “Wali” yang berdakwah lewat seni. Beliau selalu menyerukan kepada umat (penggemar) agar senantiasa punya iman yang kokoh demi untuk membela agama. Tidak cuma itu, kiprahnya di dunia film pun sudah terbukti dari jumlah film-film yang diperaninya. Sukses Rhoma bukanlah hal yang kebetulan saja. Pemusik ini, yang pada 1970-an telah merenungkan dengan saksama gayanya sendiri, dan mempraktikkan kemahirannya dengan cermat. “Ia termasuk bintang Indonesia paling cerdas dan bekerja keras,”[nbnote ]Mengapa dangdut Rhoma jadi penting, Tempointeractive Edisi. 18/XIV/ 30 Juni-06 Juli 1984[/nbnote] begitu kata William H. Frederick, yang pada 1985 menulis “Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture”.

Rhoma telah melahirkan musik yang menembus segala lapisan masyarakat. Menyandang pesan dalam bahasa yang semua orang paham dan benar-benar Indonesia. William sangat menyayangkan para kritikus yang sama sekali mengabaikan kedisiplinan dan kesungguhan Rhoma dalam proses kreatifnya. Jelaslah, empat puluh tahun lebih, Rhoma membuktikan bahwa popularitasnya adalah hasil kerjanya yang sesuai dengan, dan sanggup mencerminkan, masyarakat Indonesia sekarang. Bukan masyarakat gedongan, tapi golongan mayoritas yang tersebar dari kota besar sampai pelosok kampung.

Sayangnya, tak banyak yang mengapresiasi karya seni musik Rhoma. Keengganan para pemikir Indonesia untuk berbuat dan peduli pada kreatifitas Rhoma, sungguh membingungkan saya. Rhoma, meski nampaknya mengalami berbagai kisah pro dan kontra, namun terlepas dari semuanya, karena setiap manusia di dunia ini tak ada yang sempurna, sesempurna malaikat, tapi tak bisa dinafikan bahwa ia adalah seorang musikus hebat dan berbakat. Bukan hanya itu, ia mampu membius jutaan manusia Indonesia dengan lagu-lagunya, pertunjukan musiknya paling banyak dibanjiri penonton, petuah moralnya didengar, bahkan suara dan gaya pentasnya pun jadi rujukan para penyanyi dangdut.

Akhirnya, kepada para pembaca dan penggemar dangdut, fans berat Rhoma, khususnya, buku ini saya persembahkan. Saya sangat menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam buku ini. Atas kekurangan tersebut saya haturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, baik kepada Bang Rhoma Irama, kru Soneta, fans Rhoma, penggemar dangdut dan para pembaca

@Mohammad Shofan (Paramadina.or.id)

Selasa

Legenda Dangdut Dunia Rhoma Irama

Rhoma Irama Sang Legenda Dangdut Dunia


Riforri - Penyebutan nama “dangdut” merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi “dang” dan “ndut“. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.

Rhoma Irama Sang Legenda Dangdut Dunia - Indonesia Tanah Airku Rindu Pemimpin Yang Amanah -RI for RI

Di lihat dari sejarahnya, kelahiran musik dangdut diawali dari genre musik melayu pada era 1940-an. Mulai dari situ musik dangdut berkembang, dan mengakar di Indonesia. Perkembangan musik dangdut semakin melejit, ketika ada sebuah transformasi aliran-aliran musik yang masuk menghiasi musik dangdut. Pergeseran tersebut memberikan suplemen yang lebih, suguhan yang berbeda, warna yang lain dan gaya yang nyentrik. Dalam era evolusi dangdut yang bertajuk kontemporer, dangdut semakin di hiasi oleh genre-genre musik, seperti; pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi).

Sedangkan masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan dipakainya penggunaan gitar listrik Sejak tahun 1970-an, yaitu ditandai oleh Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an. Pada saat itu, dangdut boleh dikatakan telah matang dengan bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music. Dari situlah dangdut mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Sehingga dangdut sampai saat ini masih saja dinobatkan sebagai aliran musik yang “pro rakyat”.

Rhoma Irama Sang Legenda Dangdut Dunia - Indonesia Tanah Airku Rindu Pemimpin Yang Amanah -RI for RI
Kematangan musik dangdut di tahun 1970-an, bukan hanya karena dangdut sudah menjelma dalam irama kontemporer. Tetapi, dibarengi oleh kelahiran musisi-musisi dangdut, yang mampu “mempoles” musik dangdut menjadi lebih anggun dari sebelumnya. Ada beberapa musisi dangdut yang berperan penting dalam hal ini, seperti: Rhoma Irama, A. Rafiq, Elvy Sukaesih, Mansyur S., Mukhsin Alatas, Herlina Effendi, Reynold Panggabean, Camelia Malik, dan Ida Laila. Nama-nama musisi tersebut tentu saja tidak asing lagi, mereka adalah profesor-profesor dangdut pada zamannya bahkan sampai sekarang. Namun, dari sekian sosok yang terpampang itu–ada satu nama yang mempunyai jasa besar dalam mengembangkan musik dangdut; Rhoma irama adalah sang maestro dangdut sejati, gelar kehormatannya sebagai Raja Dangdut membuktikan bahwa ia-lah Pahlawan dangdut. Namanya terus berkibar sejak tahun 1970-an-sekarang. Bahkan eksistensinya sebagai  musisi dangdut tidak pernah luntur. Saat ini saja, ia masih menelurkan karya-karya fenomenalnya.

Sebelum beranjak jauh membicarakan sumbangsih Bang Haji terhadap musik dangdut, lebih awal penulis ingin menguak identitas murni Rhoma, mungkin dengan ini kita bisa mengenal sosok Rhoma lebih dekat, dari segi latar belakang dan sejarah hidupnya. Nama aslinya adalah Raden Haji Oma Irama atau disingkat Rhoma Irama, lahir pada tanggal 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia bergelar raden karena pada kedua orang tuanya mengalir darah bangsawan/ningrat. Ia merupakan putra kedua dari dua belas bersaudara, yaitu delapan saudara laki-laki dan empat saudara perempuan (delapan saudara kandung, dua saudara seibu dan dua saudara bawaan ayah tirinya). Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya merupakan mantan komandan gerilyawan Garuda Putih pada zaman kemerdekaan. Ia memberi nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara asal Jakarta yang bernama Irama Baru yang pernah diundang untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Ia sangat pandai dalam memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu cianjuran. Sedangkan Ibunya bernama Tuti Juariah, ia pun merupakan keturunan ningrat dan pandai pula dalam menyanyi, seperti lagu “No Other Love” yang sering didengarkan Rhoma sewaktu kecil.

Dengan penjelasan singkat tentang asal-usual Rhoma irama, sudah bisa kita tebak, bahwa darah seni Rhoma tidak lain diturunkan dari kedua orang tuanya, yang memang sangat suka dengan musik. Pendeknya, proses yang dilakukan oleh Rhoma tidak mulus, dan sangat berliku, bakat musiknya dia asah sendiri, dengan sistem belajar otodidaklah dia akhirnya mampu memainkan alat-alat musik. Karena keuletannya Rhoma akhirnya mampu membawa dirinya saat ini sebagai Sang Raja Dangdut. Walaupun sejarah pahit dan manis harus ia lewati terlebih dahulu. Tetapi semua itu tidak sia-sia, dengan adanya Rhoma dangdut mulai terlahir, istilah “tak ada Rhoma, maka tak ada dangdut” penulis sangat setuju dengan itu. Hemat penulis, Rhoma dan dangdut bagaikan semut dan gula.

Memang tidak bisa dipungkiri, melalui tangan dingin Bang Haji dangdut merubah betuknya–melakukan sebuah metamorfosis, dari identitas yang kaku menjadi identitas yang lentur. Sehingga bendera musik dangdut bisa berkibar ke seluruh pelosok penjuru negeri. Bukan hanya di Indonesia saja, di luar negeri pun dangdut telah terakui, dengan kata lain musik dangdut sudah mempunyai akreditas yang baik. Rhoma sebagai Pujangga dangdut banyak mendapat kehormatan yang tidak terhingga, khususnya dari dunia luar. Anehnya di negeranya sendiri penghargaan buat sang maestro dangdut bang haji tidak begitu banyak ia dapatkan. Tetapi ketika dunia telah mengakui kebesaran Rhoma, barulah Indonesia berduyun-duyun memberi penghargaan, tetapi itu hanya sebatas ucapan “terimakasih”, dan label sebagai “Raja Dangdut”. Sebagai seorang musisi dangdut, yang konon katanya aliran musik “kampungan” sosok Rhoma mampu menyaingi musisi-musisi papan atas waktu itu, penghormatan yang terus mengucur membuatnya sebagai musisi nomer satu di Indonesia, bukan hanya pasar nasional yang ia tembus melainkan internasional juga. Bahkan sampai sekarang eksistensi Rhoma sebagai musisi dangdut masih terjaga. Hebatnya nama Rhoma lebih melejit dibandingkan dengan musisi-musisi Indonesia yang ada, siapapun mereka, dari tempo dulu hingga saat ini. Sebagai bukti kehebatan Rhoma dalam memolos musik dangdut. 

Berikut ini adalah prestasi-prestasi Rhoma Irama sepanjang kariernya:


  1. - Tahun 1971, juara I lomba menyanyi tingkat ASEAN di Singapura,
  2. - Agustus 1985, majalah Asia Week edisi XVI menempatkan Rhoma Irama sebagai Raja Musik Asia Tenggara, setelah memuat liputan pertunjukan Soneta Group di Kuala Lumpur,
  3. - Tahun 1992, Rhoma mendapatkan pengakuan oleh dunia musik Amerika, saat majalah Entertainment edisi Februari tahun tersebut mencantumkannya sebagai The Indonesian Rocker,
  4. - Akhir April tahun 1994, Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Mr. Tanaka dari Life Record Jepang di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya akan direkam ke dalam bahasa Inggris dan Jepang, untuk diedarkan di pasar Internasional. Rencananya lagu-lagu tersebut akan dibuat dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD),
  5. - 16 November 2007 Rhoma menerima penghargaan sebagai “The South East Asia Superstar Legend” di Singapura,
  6. - Bersama Elvie Sukaesih mendapatkan penghargaan dari Museum Dunia Rekor Indonesia (MURI) dengan kategori Raja dan Ratu Dangdut Indonesia,
  7. - 23 Desember 2007 Rhoma menerima Lifetime Achievement Award pada penyelenggaran perdana Anugerah Musik Indonesia (AMI) Dangdut Awards,
  8. - Album Begadang masuk dalam 150 Album terbaik sepanjang masa versi majalah Rolling Stones. Pada edisi lain, majalah Rolling Stones Indonesia kembali memasukkan nama Rhoma Irama ke dalam 25 artis Indonesia terbesar sepanjang masa bersama dengan Bing Slamet, Ismail Marzuki, Koes Plus, Bimbo, dan lain-lain. Rhoma Irama adalah satu-satunya artis Dangdut,
  9. - Rhoma telah menciptakan 500 lebih lagu Dangdut, sekaligus memperoleh predikat pencipta lagu Dangdut terlaris,
  10. - Mendapatkan gelar Professor Honoris Causa dalam bidang musik yang diterimanya dari dua universitas berbeda, yaitu dari Northern California Global University dan dari American University of Hawaii, keduanya dari Amerika,
  11. - Nama Rhoma Irama diabadikan sebagai nama piala untuk 6 kategori permainan instrumen musik Dangdut,
  12. - Berdasarkan hasil survey yang diadakan oleh Reform Institute 2008, menempatkan Rhoma di atas penyanyi maupun grup-grup band saat ini, seperti: Ungu, Peterpan, Iwan Fals, maupun Dewa 19,
  13. Dan Sebagainya. (Masih banyak lagi prestasi yang ia dapatkan)

Di lihat dari prestasi-prestasi yang diukir oleh Bang Haji itu telah cukup jelas, keterkaitan Rhoma dengan perkembangan musik dangdut, adalah sebuah bentuk satu kesetuan. Jasa dan pikirannya sudah banyak memengaruhi dan mengawal secara konsisten kemajuan musik dangdut, hal tersebut sudah tidak lagi bisa dielakan oleh siapapun. Perjuangannya dalam menaikan pamor musik dangdut memerlukan proses yang tidak pendek. Kalau kita tengok awal karir Rhoma yaitu pada tahun tujuh puluhan “Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama Soneta yang sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah memperoleh 11 Golden Record dari kaset-kasetnya“. Mulai inilah nama Rhoma Irama melejit bak roket, tak ada yang bisa menahan laju “kemasyhurannya”. Seiring kemajuan namanya, musik dangdut pun tak luput menjadi perhatian atau sorotan sebuah perkembangan genre musik baru, masa transofmasi musik dangdut ditangan Rhoma sangat cepat. Oleh karena itulah, dengan berkat bang haji musik dangdut tidak lagi termajinalkan seperti sedia kala.

Bersama Soneta Group, Rhoma sukses merombak citra musik dangdut (orkes melayu), yang tadinya dianggap musik pinggiran menjadi musik yang layak bersaing dengan jenis-jenis musik lainnya. Keseluruhan aspek pertunjukan orkes melayu dirombaknya, mulai dari penggunaan instrumen akustik yang digantinya dengan alat musik elektronik modern, pengeras suara TOA 100 Watt yang diganti dengan sound system stereo berkapasitas 100.000 Watt, pencahayaan dengan petromaks atau lampu pompa digantinya dengan lighting system dengan puluhan ribu Watt, begitu juga dengan koreografi serta penampilan yang lebih enerjik dan dinamis di atas panggung. Kesuksesannya bersama Soneta untuk merevolusi orkes melayu menjadi dangdut itulah yang menyebabkan seorang sosiolog Jepang, Mr. Tanaka, menyatakan Rhoma sebagai “Founder of Dangdut“.

Nama dangdut sendiri yang tadinya merupakan cemoohan atas musik orkes melayu berdasarkan suara gendangnya, justru diorbitkan Rhoma Irama pada tahun 1974 dengan menjadikannya sebagai sebuah lagu: Dangdut (yang kini lebih populer dengan nama Terajana). Rhoma juga semakin mengukuhkan predikat dangdut sebagai musik yang bisa diterima semua kalangan lewat lagunya “Viva Dangdut” yang dia ciptakan tahun 1990.

Bergesernya waktu adalah bagian dari proses transformasi dangdut yang di usung oleh Bang Haji, dalam perkembangan insting musiknya Rhoma mulai mengubah gaya dangdut menjadi semakin lebih halus, santun, dan bijaksana. Dangdut bukan hanya dijadikan sebagai ladang bisnis atau hanya cuman sekedar mencari nama saja. Tetapi, di tangan Rhoma dangdut dioprasionalkan untuk alat dakwah juga. Dakwah dan Syiar Islam merupakan pijakan dasar Rhoma dalam berdakwah melalui musiknya. “Sound of Moselem” menjadi konsep dasar Rhoma. Sukses mengangkat derajat dangdut dengan gaya Rhoma yang lama. Bersama Soneta Grup waktu itu Rhoma gencar-gencaran meluncurkan album yang bernuansa dakwah. Tetapi, tetap saja walaupun lagu-lagunya banyak “diselipi” aroma agama, lagu-lagu Rhoma pada saat ini terus bertahan menduduki tangga lagu pertama, dan sosok Rhoma malah semakin fenomenal. Rhoma percaya bahwa musik bukanlah sekedar sarana untuk hura-hura belaka, namun merupakan sebuah pertanggungjawaban kepada Tuhan dan manusia, dengan kekuatan untuk mengubah karakter seseorang, bahkan karakter sebuah bangsa. Dalam misi dakwahnya itu, bukan saja melalui jalur musik ia mencoba memperkenalkan agama, namun ia juga terjun dalam dunia perfilman. Sebagai bukti pada tahun 1991 film yang Berjudul “Nada dan Dakwah”, adalah bentuk dari perjuangan Rhoma untuk terus konsisten dalam mengkolaborasikan musik, film, dan nilai-nilai moral yang tertanam pada religiusitas. Lewat “Nada dan Dakwah”, Rhoma juga mendapatkan nominasi aktor pemeran utama terbaik untuk FFI 1992.

Terkadang Rhoma berseberangan dengan pemerintah saat melakukan kritik sosial untuk menggugat kebijakan yang dianggapnya kurang sesuai dengan kaidah agama, seperti legalisasi Porkas dan SDSB. Lagu-lagu seperti “Pemilu” dan “Hak Asasi” (1977), “Sumbangan” dan “Judi” (1980), serta “Indonesia” (1982) sarat kritik dan sentilan, sehingga dia sempat diinterogasi pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI selama 11 tahun lamanya. Rhoma juga pernah duduk sebagai wakil rakyat dalam DPR. Untuk membuat syiar dan dakwahnya lebih efektif, dia menggandeng partai-partai politik yang punya jalur, jangkauan, serta akses yang luas. Rhoma juga berpartisipasi aktif dalam menggunakan jalur politik untuk syiar dan dakwah, dengan turut mengusulkan beberapa butir Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUPP) ke DPR.

Rhoma tidak hanya mencurahkan perhatiannya pada dakwah dan syiar, tapi dia juga peduli dengan nasib sesama musisi, terutama mereka yang berkecimpung dalam dunia Dangdut. Dia mendirikan PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan menjabat sebagai Ketua Umumnya. Dia juga memimpin pendirian AHDCI (Asosiasi Hak Cipta Musik Dangdut Indonesia) untuk memperjuangkan hak atas pembagian royalti yang lebih baik untuk para pencipta musik Dangdut.

Dalam perkembangan musik dangdut Indonesia, Rhoma mulai berbenturan dengan musisi-musisi dangdut lainnya. Konflik Bang Haji dengan Inul Daratista sebagai gambaran kegelisahan Rhoma, karena Rhoma beranggapan bahwa apa yang dipertunjukan oleh inul itu Bukanlah dangdut, tetapi “porno“. Dengan permasalahan itu dan berbagai hiruk-pikuk dangdut yang ada Rhoma beranggapan musik dangdut telah tercemari oleh limbah-limbah, sehingga kemajuan atau aliran musik dangdut semakin terhambat. Sebagai bukti bisa kita liat sendiri, musik dandut pada sekarang ini kalah pamor dengan aliran-aliran musik lainnya. Apalagi saat ini para musisi dangdut, bukan kualitas lagu yang ia tonjolkan, melainkan ekspresi goyangan di atas panggung. Jadi bisa dikatakan, ketika seorang penyanyi dangdut tidak punya goyangan yang khas, maka kemungkinan untuk eksis dia kecil.

Sungguh kemunduran yang sangat jauh, yang awal mulanya dangdut adalah lahan bagi para insan kreatif, penuh makna, dan pesan-pesan moral. Tetapi sekarang ini dangdut telah menjadi lahan maksiat. Mungkin di situlah bedanya Rhoma dengan musisi dangdut yang ada sekarang. Kemampuan, kemahiran, dan keahlian Rhoma adalah tonggak utama yang ia pakai dalam merubah musik dangdut. Bukan karena adanya embel-embel terntentu, itu murni dari ketangkasan yang ia miliki. Akhirnya genre musik yang ia usung menjadi sebuah alunan musik yang nikmat dan “pro rakyat”. Dia benar-benar musisi sejati, tak ada yang bisa menyamai namanya. Sampai sekarang pun Rhoma tetap eksis dengan karya-karyanya. Tidak dapat disangkal sosok jenius ini telah menciptakan lebih dari 500 lagu, dan sampai sekarang dia memperoleh predikat sebagai pencipta lagu terlaris, di setiap even-even dangdut lagu Rhoma selalu berkumandang.

Sumber: RajaDangdut