Teroris itu Bukan Masalah Agama, Melainkan Masalah Politik
Riforri - Bakal calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa Rhoma Irama melantunkan lagu Kita Adalah Satu saat ditanya soal konflik agama yang kerap terjadi di Tanah Air. "Walau kita beda dalam bahasa, walau kita beda dalam budaya, walau kita, beda dalam agama, kita adalah satu," Rhoma bernyanyi dengan suara khasnya saat menggambarkan semboyan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.
Rhoma melantunkan lagu saat menjadi pembicara seminar bertajuk "Indonesia Menjawab Tantangan : Kepemimpinan Menjadi Bangsa Pemenang". Ia dijadwalkan menyampaikan visi dan misinya dalam membangun masa depan Indonesia di Aula Fakultas Kedokteran Kampus UI Salemba, Jumat, 20 Desember 2013.
Menurut dia, semua agama memiliki aliran sesat. Untuk itu, jika ia menjadi presiden, ia akan memberikan kewenangan pada ulama untuk menentukan apakah aliran tersebut menyimpang atau tidak, kemudian pemerintah yang akan menjadi eksekutornya. "Kalau dinyatakan menyimpang, harus dilarang, jangan sampai mencederai agama induknya," kata dia.
Jika, dalam konflik terdapat kekerasan, maka pemerintah harus tegas menindak para pelakunya. "Tidak memandang apa pun agamanya," kata Rhoma sambil tersenyum. Ia mengatakan bahwa perdebatan soal agama kerap terjadi di Indonesia. Namun, ia menekankan agama yang diakui negara hanya enam. Selebihnya harus diserahkan kepada ulama untuk dinilai apakah sesat atau tidak, barulah pemerintah yang bertugas menindak. "Ini konsekuensi bernegara, harus patuh pada Pancasila," kata dia menambahkan.
'Raja Dangdut' ini mengatakan terorisme bukanlah masalah agama, permasalahan politik. "Pernah saya katakan bahwa teroris itu bukan masalah agama, melainkan masalah politik," ujar Bang Haji sapaan akrab Rhoma Irama.
Rhoma berujar bahwa semua agama tidak membenarkan tindakan membunuh. "Dalam firman Allah, disebutkan, barang siapa membunuh orang yang tidak berdosa sama saja dengan membunuh satu manusia, begitupun dalam Islam" ucapnya.
"Begitu juga dengan konflik ulama di Indonesia. Setiap agama, tidak hanya islam, ada aliran-aliran yang menyimpang," kata pria berusia 67 tahun itu.
Saat ditanya peran pemerintah terkait hal tersebut, Rhoma menjawab, "Tentunya mesti ada penegakan hukum yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah."
Tampil di kampus sesungguhnya bukan barang baru bagi Rhoma. Sebelum ke UI, misalnya, dia pernah mengisi acara di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, UIN Makassar, UIN Palembang, dan Universitas Negeri Jakarta. Di kampus-kampus itu, Rhoma menjadi narasumber dialog kebangsaan.
Dunia politik sebenarnya juga bukan panggung yang asing bagi lelaki kelahiran Tasikmalaya itu. Pada 1977, Rhoma mendukung Partai Persatuan Pembangunan. Gara-gara emoh bergabung ke Golkar, selama 11 tahun dia dicekal tampil di layar kaca TVRI oleh penguasa Orde Baru. "Sejak 1970-an identitas saya 3 in 1, yakni musik, dakwah, dan politik," kata Rhoma di suatu kesempatan. (Temp/Metr)