Lima Skenario Perebutan Kepemimpinan Nasional
Riforri - Presiden SBY sudah dua kali menjabat sebagai presiden, dan sesuai UU pada tahun 2014 mendatang tidak mungkin lagi mencalonkan atau dicalonkan. Karena itu, sejak sekarang persaingan untuk memperebutkan kursi kepemimpinan nasional ini terus mengemuka. Para kandidat tidak hanya muncul dari politisi tua yang telah berpengalaman tetapi juga dari para politisi muda yang baru berpengalaman. Karena itu, sejak saat ini hingga nanti hari pemilihan maka antar kandidat saling unjuk gigi untuk memperlihatkan kelebihan kelebihannya dibandingkan dengan kandidat lainnya.
Namun menurut pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Ichsanuddin Noorsy, dalam sebuah tulisan menyebutkan bahwa dinamika ekonomi politik internasional, regional dan nasional, bisa mewarnai perebutan kursi RI 1 tersebut. Katanya terdapat lima skenario politik yang akan mewarnai perebutan ini. Pertama, strategi dan pengaruh negara adidaya tentang capres/cawapres yang dikehendakinya. Berdasarkan catatan dirinya sejak pertengahan tahun lalu melalui iklan dan kegiatan tanggung jawab sosial korporasi, iklan kegiatan sosok tertentu dan penjaringan pendapat masyarakat tentang beberapa tokoh, negara adidaya telah “memasarkan” tokoh-tokoh tertentu.
Pada saat yang sama, lanjut Noorsy, tokoh-tokoh yang tidak masuk “dipasarkan” melalui industrialisasi survei didekati dengan beragam cara. Mereka diajak bicara tentang kebutuhan Indonesia seolah orang-orang asing itu, atau pemasar kepentingan asing itu lebih mengetahui tentang Indonesia. Pendekatan ini tentu tidak dilakukan sendiri. Lembaga-lembaga keuangan multilateral pun bersinergi demi kehadiran our man in Jakarta.
Mudah ditebak kenapa mereka demikian? Yakni kepentingan ekonomi sebagaimana Bung Karno menyatakan bahwa soal penjajahan adalah soal untung rugi ekonomi. Menariknya skenario pertama ini karena acapkali media massa terseret, sadar atau tidak, ada kepentingan bisnis atau tidak, dalam memasarkan tokoh-tokoh yang mereka kehendaki. Sebagaimana peristiwa 2004 dan 2009, media berhasil membentuk opini publik tentang siapa yang pantas dan memenuhi syarat jadi pemimpin.
Kedua, terang Noorsy partai mencalonkan sendiri tokohnya dengan mempertimbangkan elektabilitas. Persoalan ini belum tuntas disebabkan ambang batas suara untuk pencalonan presiden belum diputuskan DPR. Tapi bisa diduga partai-partai apa yang akan berkoalisi jika perolehan suara mereka pada pemilihan legislatif tidak memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden.
Partai Demokrat misalnya, akan lebih nyaman berkoalisi dengan PAN dan PKB.
Sementara PDIP dan Partai Golkar berkeyakinan mampu mencalonkan sendiri tokohnya walau mereka membuka diri untuk berkoalisi. Pernyataan PDIP dalam Rakernas mengarah ke dua bentuk itu, demikian juga pernyataan Abu Rizal Bakrie.
Yang jelas dengan ramainya baliho para Capres di berbagai daerah dan gencarnya iklan-iklan tokoh berselubung ragam hal di teve, radio dan media cetak, skenario kedua ini, lanjutnya, bertujuan peningkatan daya tawar para tokoh kepada masyarakat dan kepada sesama Capres lainnya. Intinya, kalau pun tidak dapat kursi nomer satu atau nomer dua, maka kursi menteri sudah harus lebih pasti.
Kondisi seperti Partai Hanura dan Partai Gerindra pada 2009-2014 adalah contoh yang patut dihindari, menurut skenario ini. Yang juga penting, skenario kedua ini tetap dipengaruhi pihak asing untuk kursi-kursi menteri tertentu.
Dalam catatan Noersy, terdapat tujuh kursi menteri yang signifikan dipengaruhi asing. Yakni Kementerian-kementerian Keuangan, ESDM, Perdagangan, Perindustrian, Kehutanan, Pertahanan, dan Kementerian Luar Negeri. “Sebenarnya mereka juga peduli dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. Namun selama yang duduk di dua pos kementerian ini mudah didekati, mereka akan merasa nyaman. Ini berarti koalisi atau tidak koalisinya para partai lagi-lagi dipengaruhi pihak asing,” paparnya.
Dijelaskan Noorsy untuk skenario ketiga, adalah koalisi nasionalis sekuler dengan nasionalis pragmatis. Skenario ini terlihat pada upaya mendampingkan ARB dengan Jokowi, ARB denganPEW, atau Jokowi dengan PEW, atau ARB dengan PEW.
Yang jelas, media massa dan lembaga survei mengarahkan publik kepada Jokowi, entah sebagai Capres atau Cawapres. Lalu sekenario keempat, koalisi nasionalis dengan partai Islamisme. Skenario ini berpandangan pada pentingnya kaum nasionalis bergandeng tangan dengan partai Islamisme yang nasionalis seperti PKB, PPP, dan PBB. Pasangan Jokowi dengan Mahfud MD, misalnya, dipandang cukup menarik.
Sementara menyandingkan Jokowi dengan Jusuf Kala juga tidak kalah penting dengan argumen tentang kelebihan Jusuf Kala dalam bidang ekonomi dan pengalaman sebagai Wakil Presiden 2004-2009.
Skenario terakhir, koalisi partai Islamisme. Koalisi ini hampir tidak mungkin karena sulitnya menyatukan kelompok Islam sendiri. Tapi patut dipertimbangkan jika ditemukan tokoh Islam yang mampu menyatukan mereka.
Dari semua skenario itu, ungkap Noorsy, sebenarnya model demokrasi Barat yang diimpor ke Indonesia ditentukan oleh lima hal yaitu lembaga survei (pembuat jajak pendapat), biro iklan beserta public relations, para lobbis dan lembaga swadaya masyarakat, media massa, partai politik dan pemodal.
Ia menyebut kelima hal itu yang membuktikan bahwa demokrasi Barat ditentukan oleh para bandar, pemilik modal sehingga keberlakuan neoliberal adalah sebuah keniscayaan. Jika demikian, tambah Noorsy, maka pendapat Amien Rais bahwa politik di Indonesia masih dominan tentang orang memang tak bisa dipungkiri. Dalam perspektif itulah lima skenario tidak bersifat limitatif.
“Persoalannya menjadi, apakah pemilu 2014 akan mengulang substansi pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang berujung pada semunya otoritas kekuasaan dalam keberpihakan pada penegakan harkat martabat bangsa dan dalam upaya ekonomi menolong diri sendiri,” urainya.
Dijelaskan, jika melihat kebijakan dan kondisi ekonomi bangsa akhir-akhir ini, agaknya 2014 belum menyingkirkan awan penjajahan ekonomi kecuali pemimpinnya memang teguh, tangguh dan teduh dalam menegakkan amanat konstitusi. (Ojay/mol)
0 komentar:
Posting Komentar