MAKNA SEBUAH PENGORBANAN
Riforri - “Pengorbanan” merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan. Setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Sehingga, kesadaran untuk kembali kepada sifat ini merupakan suatu keharusan. Berbicara tentang ‘Pengorbanan’ mengingatkan saya pada lagu ‘Pengorbanan’ karya Rhoma Irama, Raja musik dangdut yang lirik lagu-lagunya bukan hanya sekadar menghibur, tapi sudah merambah zona lain seperti gerakan moral, agama dan politik. Berikut saya kutipkan penggalan lirik lagu ‘Pengorbanan’:
Pengorbanan pasti dibutuhkan
Dalam setiap perjuangan
Dengan cinta, maka manusia
Sanggup menghadapi tantangan
Tanpa cinta, maka manusia
Tidak akan mampu berkorban
Pengorbanan harus diniatkan
Dalam mencapai ridha Tuhan
Lagu ‘Pengorbanan’ Rhoma mampu menggerakkan perubahan dan mengubah perilaku sosial masyarakat, kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman. Lirik ini mencitrakan nilai estetis, tetapi memiliki nilai pesan moral yang dalam, mengena dan lugas. Dengan arti kata lain, lirik lagu ini mengungkap segi-segi sosial yang bersifat etis, terapis, konseptualis, dan kritis.
Di tengah “semesta simbolisme modernitas” sebuah masyarakat di mana gaya hidup begitu dikultuskan dan dipuja, manusia sebagai pelaku ke-sadaran, mulai “kehilangan rumah secara metafisik”, budaya tradisional dihancurkan, tak terkecuali di sini agama. Dalam kehilangan rumah itu, Rhoma seakan mengingatkan kita kepada Michel Foucault, yang mengajak kita untuk tetap optimis: “Jangan membuang moralitas, lebih baik Anda menguasainya, tetapi semata-semata sebagai salah satu kaidah, sebagai salah satu dari konvensi-konvensi yang sepenuhnya menantang, tetapi meskipun begitu ia tetap diperlukan agar permainan bisa berlangsung”.
Dalam dunia seni, apa yang dilakukan oleh Rhoma dengan musiknya saat itu, sungguh tak lazim dan dianggap sebagai pekerjaan orang gila. Dan memang, Rhoma adalah “orang gila” dalam kewarasannya, yang terus melahirkan dangdut dengan pikiran kreatif. Rhoma, melalui musiknya, adalah aktor counter-culture dalam pengertian yang hampir sebenarnya.
Nah, para pembaca yang budiman. Dalam menyambut ‘Idul Kurban yang dirayakan 16 Oktober 2013 sejatinya kita maknai sebagai kesediaan untuk rela berkorban sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Idul Kurban adalah sebuah momentum untuk membela nilai-nilai kemanusiaan, karena hakekat ibadah kurban adalah sarat dengan pesan-pesan moral sekaligus pesan sosial sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal tersebut terlihat jelas dari pesan dalam kisah al-Qur’an: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (QS Al-Kautsar : 1-2).
‘Idul Kurban menyimpan banyak harapan untuk self cleaning, menjanjikan peleburan jiwa ke dalam proses penemuan jati diri dan harga diri. Semangat ‘Idul Kurban itu dinamis, yakni dari dimensi makna yang bersifat vertikal menuju dataran horizontal. Secara lebih luas, ia tidak hanya berhenti untuk memperkaya horison pengalaman beragama secara individual, tapi juga berlanjut implementasinya pada dataran empiris-sosial. Karena kedudukan agama bukan semata-mata cultus privatus, tapi juga cultus publicus Roland Barthes menyebutnya sebagai deformasi.
Dalam merayakan Idul Kurban, kita tidak cukup hanya dengan mempertahankan “semangat berkorban”, sebagaimana dicontohkan Ibrahim dan Ismail, tapi juga harus tetap mempertahankan “kerja-kerja” pengorbanan secara kreatif. Penggalian terhadap makna teks yang hanya berhenti pada isi teks, tanpa mau melihat latar belakang dan setting historis yang ada di balik teks, pada akhirnya hanya akan menghasilkan sebentuk “reduksi makna” yang sebenarnya dari teks tersebut.
Di tengah arus globalisasi dan arus informasi simbol-simbol budaya, sakralitaslah yang merangsang atribut-atribut agama untuk tetap survive. Karenanya simbol-simbol dalam agama pun penting untuk dilibatkan dalam melakukan interpretasi, sebab di sini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan. Interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam teks.
Beragamnya makna dan pandangan tentang kurban tentu saja menjadi sebuah hal yang sifatnya niscaya. Itulah agama. Ia datang bukan sekadar disapa, lebih dari itu ia datang dengan semangat dialektis, berhadapan dengan manusia, perubahan ruang dan waktu. Dengan begitu, agama menuntut untuk dipahami dan ditangkap pesannya dengan pendekatan transformatif. Dengan kata lain, kemunculan agama tidak dengan tiba-tiba, tetapi terkait dengan problem kemanusiaan.
Di sisi lain, ‘Idul Kurban mesti dipahami sebagai tanda penyerahan, bukan penyembelihan binatang itu sendiri. Momentum kurban dengan ritu-alnya menyimbolkan penyembelihan sifat kebinatangan manusia; nafsu serakah, sifat kikir, egoisme personal maupun komunal, dan nafsu menerabas yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ismail hanya simbol dari seorang manusia, benda, pangkat, realita dan kedudukan. Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yang harus disembelih dan ditiadakan.
Akhir kata, jangan sampai ibadah kurban ini hanya menjadi rutinitas tahunan yang miskin makna, yakni hanya sampai pada proses penyembelihan hewan kurban. Kita mesti berlari dari pemahaman ‘Idul Kurban yang identik dengan momentum sebuah pesta, menuju momentum keinsafan dan penyerahan secara total kepada Tuhan, Allah SWT. Wallahu ‘Alam bi al-Shawab.
Oleh Moh. Shofan
Peneliti di Yayasan Paramadina Jakarta, dan penulis buku ’Rhoma Irama: Politik, Dakwah dalam Nada’ [2013]
Riforri - “Pengorbanan” merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan. Setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Sehingga, kesadaran untuk kembali kepada sifat ini merupakan suatu keharusan. Berbicara tentang ‘Pengorbanan’ mengingatkan saya pada lagu ‘Pengorbanan’ karya Rhoma Irama, Raja musik dangdut yang lirik lagu-lagunya bukan hanya sekadar menghibur, tapi sudah merambah zona lain seperti gerakan moral, agama dan politik. Berikut saya kutipkan penggalan lirik lagu ‘Pengorbanan’:
Pengorbanan pasti dibutuhkan
Dalam setiap perjuangan
Dengan cinta, maka manusia
Sanggup menghadapi tantangan
Tanpa cinta, maka manusia
Tidak akan mampu berkorban
Pengorbanan harus diniatkan
Dalam mencapai ridha Tuhan
Lagu ‘Pengorbanan’ Rhoma mampu menggerakkan perubahan dan mengubah perilaku sosial masyarakat, kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman. Lirik ini mencitrakan nilai estetis, tetapi memiliki nilai pesan moral yang dalam, mengena dan lugas. Dengan arti kata lain, lirik lagu ini mengungkap segi-segi sosial yang bersifat etis, terapis, konseptualis, dan kritis.
Di tengah “semesta simbolisme modernitas” sebuah masyarakat di mana gaya hidup begitu dikultuskan dan dipuja, manusia sebagai pelaku ke-sadaran, mulai “kehilangan rumah secara metafisik”, budaya tradisional dihancurkan, tak terkecuali di sini agama. Dalam kehilangan rumah itu, Rhoma seakan mengingatkan kita kepada Michel Foucault, yang mengajak kita untuk tetap optimis: “Jangan membuang moralitas, lebih baik Anda menguasainya, tetapi semata-semata sebagai salah satu kaidah, sebagai salah satu dari konvensi-konvensi yang sepenuhnya menantang, tetapi meskipun begitu ia tetap diperlukan agar permainan bisa berlangsung”.
Dalam dunia seni, apa yang dilakukan oleh Rhoma dengan musiknya saat itu, sungguh tak lazim dan dianggap sebagai pekerjaan orang gila. Dan memang, Rhoma adalah “orang gila” dalam kewarasannya, yang terus melahirkan dangdut dengan pikiran kreatif. Rhoma, melalui musiknya, adalah aktor counter-culture dalam pengertian yang hampir sebenarnya.
Nah, para pembaca yang budiman. Dalam menyambut ‘Idul Kurban yang dirayakan 16 Oktober 2013 sejatinya kita maknai sebagai kesediaan untuk rela berkorban sebagaimana ditunjukkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Idul Kurban adalah sebuah momentum untuk membela nilai-nilai kemanusiaan, karena hakekat ibadah kurban adalah sarat dengan pesan-pesan moral sekaligus pesan sosial sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal tersebut terlihat jelas dari pesan dalam kisah al-Qur’an: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah (QS Al-Kautsar : 1-2).
‘Idul Kurban menyimpan banyak harapan untuk self cleaning, menjanjikan peleburan jiwa ke dalam proses penemuan jati diri dan harga diri. Semangat ‘Idul Kurban itu dinamis, yakni dari dimensi makna yang bersifat vertikal menuju dataran horizontal. Secara lebih luas, ia tidak hanya berhenti untuk memperkaya horison pengalaman beragama secara individual, tapi juga berlanjut implementasinya pada dataran empiris-sosial. Karena kedudukan agama bukan semata-mata cultus privatus, tapi juga cultus publicus Roland Barthes menyebutnya sebagai deformasi.
Dalam merayakan Idul Kurban, kita tidak cukup hanya dengan mempertahankan “semangat berkorban”, sebagaimana dicontohkan Ibrahim dan Ismail, tapi juga harus tetap mempertahankan “kerja-kerja” pengorbanan secara kreatif. Penggalian terhadap makna teks yang hanya berhenti pada isi teks, tanpa mau melihat latar belakang dan setting historis yang ada di balik teks, pada akhirnya hanya akan menghasilkan sebentuk “reduksi makna” yang sebenarnya dari teks tersebut.
Di tengah arus globalisasi dan arus informasi simbol-simbol budaya, sakralitaslah yang merangsang atribut-atribut agama untuk tetap survive. Karenanya simbol-simbol dalam agama pun penting untuk dilibatkan dalam melakukan interpretasi, sebab di sini terdapat makna yang mempunyai multi-lapisan. Interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha untuk membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam teks.
Beragamnya makna dan pandangan tentang kurban tentu saja menjadi sebuah hal yang sifatnya niscaya. Itulah agama. Ia datang bukan sekadar disapa, lebih dari itu ia datang dengan semangat dialektis, berhadapan dengan manusia, perubahan ruang dan waktu. Dengan begitu, agama menuntut untuk dipahami dan ditangkap pesannya dengan pendekatan transformatif. Dengan kata lain, kemunculan agama tidak dengan tiba-tiba, tetapi terkait dengan problem kemanusiaan.
Di sisi lain, ‘Idul Kurban mesti dipahami sebagai tanda penyerahan, bukan penyembelihan binatang itu sendiri. Momentum kurban dengan ritu-alnya menyimbolkan penyembelihan sifat kebinatangan manusia; nafsu serakah, sifat kikir, egoisme personal maupun komunal, dan nafsu menerabas yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ismail hanya simbol dari seorang manusia, benda, pangkat, realita dan kedudukan. Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yang harus disembelih dan ditiadakan.
Akhir kata, jangan sampai ibadah kurban ini hanya menjadi rutinitas tahunan yang miskin makna, yakni hanya sampai pada proses penyembelihan hewan kurban. Kita mesti berlari dari pemahaman ‘Idul Kurban yang identik dengan momentum sebuah pesta, menuju momentum keinsafan dan penyerahan secara total kepada Tuhan, Allah SWT. Wallahu ‘Alam bi al-Shawab.
Oleh Moh. Shofan
Peneliti di Yayasan Paramadina Jakarta, dan penulis buku ’Rhoma Irama: Politik, Dakwah dalam Nada’ [2013]