Nama Rhoma Irama Diambil dari Nama Grup Sandiwara Keliling
Riforri - Sejak kecil, Rhoma menjalani kehidupan yang keras dengan didikan sang ayah. Maklum, ayah Rhoma adalah seorang perwira TNI yakni, Kapten Raden Burda Anggawirja yang merupakan Komandan Batalion Garuda Putih di Tasikmalaya, Jawa Barat. Jika nakal, Rhoma kecil sering dihukum oleh ayahnya dengan dipukul menggunakan rotan. Di usia 12 tahun atau tepatnya tahun 1958, Rhoma harus kehilangan ayahnya karena meninggal dunia dan ibunya menikah lagi.
Nama Rhoma Irama sendiri diceritakan bermula ketika sang ayah mengundang grup sandiwara Irama Baru dari Jakarta untuk menghibur pasukannya. Para bintang grup itu antara lain Fifi Young dan Pak Item (Tan Ceng Bok). Waktu itu Tuti Juariah, ibunda Rhoma sedang mengandung dirinya. Usai pertunjukan malah melahirkan di tanggal 11 Desember 1947.
Simpati Raden Burdah pada grup Irama Baru berpadu dengan kegembiraan kelahiran anak keduanya, menimbulkan inspirasi padanya akan nama bayi itu, yaitu Irama, tanpa disertai harapan agar si anak kelak menjadi pemusik atau penyanyi. Justru Raden Burdah ingin agar anaknya kelak menjadi dokter.
"Ayah saya adalah anak buah Pak Nasution. Salah seorang temannya adalah Pak Eddy Nalapraya. Suatu hari, waktu saya bertemu dengan Pak Eddy, beliau bercerita bahwa dulu saya sering digendongnya,” kata Rhoma.
Dikatakan oleh Rhoma jika masa kecilnya biasa-biasa saja. Namun dirinya mengakui jika sejak kecil sudah menyukai musik.
"Kalau ada yang boleh dikatakan istimewa, mungkin karena sejak kelas nol saya sudah memperhatikan lagu. Bahkan menurut Ibu, kalau saya menangis bisa langsung diam jika diperdengarkan lagu. Perhatian saya terhadap musik makin besar setelah saya masuk sekolah. Ketika duduk di kelas 2 SD saya sudah bisa membawakan lagu-lagu Barat dan India dengan baik. Saya ingat salah satu diantaranya berjudul No Other Love, lagu kesayangan ibu. Dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Lata Maagiskar. Saya juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah seperti yang dinyanyikan Umm Kaltsum," ujarnya.
Rhoma mengaku jika bakat musiknya berasal dari ayahnya yang gemar lagu-lagu Cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Bahkan sang ayah dapat menyanyi gaya Cianjuran dengan baik. Selain itu, seorang pamannya yang bernama Arifin Ganda juga tidak disangkal pengaruhnya. Sang paman inilah yang suka mengajarinya lagu-lagu Jepang, ketika Rhoma masih kanak-kanak.
"Saya jadi tahu bahwa musik itu universal. Melalui musik, kebudayaan suatu bangsa bisa menyentuh bangsa lain, tanpa harus memahami dulu bahasanya," ujar Rhoma.
Namun ia merasa bahwa pada masa kecilnya lingkungannya tidak bersikap akrab terhadap bakat musiknya. Ayah dan ibunya adalah pasangan berdarah ningrat. Meski mereka menyukai musik, namun dunia musik bagi mereka bukan sesuatu yang patut dibanggakan, bahkan dianggap kurang terhormat . Kasarnya, bakat musik si kecil Irama, yang mendapat panggilan “Oma” tidak mendapat dukungan.
"Akhirnya saya jadi berkembang di luar rumah,” katanya.
Sepeninggal sang ayah ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang perwira ABRI lain, Raden Soma Wijaya yang juga berdarah bangsawan.
Ketika ayah kandungnya masih hidup, suasana di rumahnya feodal. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tata krama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan Den (raden). Makan harus bersama-sama dan siang hari anak-anak harus tidur. Sang ayah tak segan-segan menghukum anak-anak dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, misalnya bermain hujan atau membolos sekolah.
Tapi suasana feodal itu tidak lagi kental setelah anak-anak mendapatkan ayah tiri yang lemah lembut. Bahkan dari ayah tiri inilah, disamping pamannya, Oma mendapat ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat-alat musik akustik berupa gitar, bongo, dan sebagainya. Omapun lantas membentuk band bocah. (Adt/bs/lip6)